AQIDAH: KONSEP QADHA DAN QADAR MENURUT
PEMIKIRAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI
PROPOSAL
SKRIPSI
Oleh
HUSAIN RAHIM
14-30-12-017
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA
A.
Latar Belakang
Masalah
Pembahasan
mengenai Aqidah sangatlah penting, sebab Aqidah adalah landasan dasar setiap
manusia dalam memahami dan mengamalkan agama. Aqidah adalah landasan Islam,
sekaligus yang menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan
akitifitas dimuka bumi, sebagai Khalifah fi al-ardh sekaligus
sebagai Abdullah. Aqidah inilah yang menentukan jalan keselamatan di
dunia maupun di akhirat. Hakikat dan tujuan hidup serta kehidupan hanya bisa
dilakukan dengan aqidah Islam.
Landasan konsep
aqidah sebagai landasan epistimologi ke-Imanan diantaranya mengenai
rukun Iman, pembahasan mengenai Qadha dan Qadar, sumber kebenaran
dan sumber pengetahuan dan lain sebagainya sebenarnya tak pernah ada perdebatan
mengenai hal ini pada zaman Rasulullah Sallallahu’alaihi Wasallam. Problem
Teologis ini baru muncul setelah masa ke-Khilafahan Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhum, adanya peristiwa al-Fitnah al-Kubra, Tahkim, hingga ‘Amul
Jama’ah. peristiwa ini memuculkan perpecahan dikalangan kaum muslimin
secara politis. Namun ternyata perpecahan ini tak hanya sebatas perpecahan
dalam mazhab politik saja namun merambat hinggga pada masalah Teologis dan Aqidah.
Diantara
firqah-firqah yang muncul pasca terjadinya al-Fitnah al-Kubra pada
saat itu adalah diantaranya Khawarij dan Mu’atzilah, kedua firqah ini muncul
sebagai mazhab Siyasi namun dikemudian hari melahirkan interpretasi
aqidah yang berbeda-beda. Perbedaan ini semakin meruncing setelah wilayah
kekuasaan kaum muslimin semakin luas pada zaman ke-Khilafahan, dan mulai
berinteraksi dengan Filsafat. Sehingga konsep Aqidah ini menjadi berbeda akibat
kontaminasi filsafat.
Peristiwa selanjutnya yang menimpa kaum
muslimin adalah Runtuhnya ke-Khilafahan Turki Utsmani di tangan Musthafa Kamal
Pasha. Peristiwa kekalahan politik inilah yang membuat kaum muslimin
semakin terpecah belah baik dari segi persatuan kekuatan, Politik, Negara,
hingga Aqidah. Dengan adanya perpecahan Teologis dan perdebatan yang tak pernah
ada ujung pangkalnya di tengah-tengah kaun muslimin, sehingga berdampak pada
kelemahan dan kemunduran taraf berfikir umat Islam, dan sampai saat ini belum
seolah enggan untuk bangkit dari keterpurukan.
Kelompok
ummat Islam yang memperdebatkan Masalah Qadha dan Qadar terdapat terdapat dua
kubu yakni kelompok Mu’tazilah berada dalam sekte Qadariyah, berhadapan
dengan kelompok Jabariyah, kelompok Asy’ariyah muncul sebagai Waisth (Penengah)
dalam masalah ini malah terjebak dalam konsep Kasb al-Ikhitiyar. Meskipun
Asy’ariyah berusaha menengahi perdebatan ini tetap saja lebih bercorak Jabariyah.
Menurut Imam Abul Fadl Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghoffar al Iji dan
Imam Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani membagi Jabariyah menjadi dua,
yaitu Jabriyah mutawassithoh (moderat) seperti Asy’ariyah dan Jabariyah kholishoh
(ekstrim) seperti Jahmiyah Jabariyah pertengahan.[1]
Dengan demikian model pemikiran asy’ariyah mengenai Qadha dan Qadar menyisakan
ruang perdebatan yang belum selesai.
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pemikir Islam hadir dengan gagasan yang berbeda
dengan corak berfikir sebelumnya, dengan membawa konsep Qadha dan Qadar yang
berbeda dengan konsep Mu’tazilah, Qadariyah, dan Jabariyah maupun Asy’ariyah. Sehingga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani merumuskan
konsep yang berusaha keluar dari ruang perdebatan antara Mu’tazilah (diwaikili sekte
Qadariyah), dan dipihak lain ada Jabariyah maupun Asy-Ariyah tentang polemic Qadha danl Qadar. inilah menurut hemat penulis sangat menarik
untuk dikaji adalah terkait dengan penggunaan akal secara proporsional.
Atas dasar permasalahan tersebut saya
mengangkat masalah ini menjadi judul Proposal yakni: Aqidah: Konsep Qadha Dan Qadar Menurut
Pemikiran Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan
masalah di atas maka dalam penelitian ini dapat di kemukakan rumusan masalah
yakni:
1.
Bagaimanakah
konsep Qadha dan Qadar menurut pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.?
C.
Pengertian
Judul dan Definisi Operasional
1. Pengertian Judul
Untuk menghindari
kekeliruan dalam memahami judul dan hasil penelitian ini, berikut
ini akan di jelaskan beberapa kata kunci dalam judul sebagai berikut:
a.Aqidah; secara berasal dari kata عقد‘Aqoda bermakna al-Habl,
al-Bai’, al-ahd ( tali, jual beli, dan perjanjian)[2] membuat simpul, mengikat, transaksi,
memperkuat, dan apa-apa yang diyakini dan menentramkan hati.
b.Konsep;
b.Qadha ;
c.Qadar;
2.Definisi Operasional
Secara Operasional, penelitian mengenai Aqidah konsep
Qadha dan Qadar ini adalah berupaya untuk memahami dengan sungguh-sungguh bagaimana
pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengenai konsep Qadha dan Qadar.
D. Tujuan
dan Kegunaanya
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan konsep Aqidah mengenai
Qadha dan Qadar ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan bisa mengetahui
bagimana pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengenai Qadha dan Qadar.
Tulisan ini diharapkan bisa berguna untuk pemikir dan pengkaji
pemikiran ke-Islaman khususnya mengenai masalah-masalah Aqidah, Qadha dan
Qadar. Selain itu tulisan ini setidaknya bisa memberikan jalan keluar atas
kemelut yang tak berkesudahan mengenai Qadha dan Qadar yang menyebabkan
kemunduran dan kelemahan Islam, sehingga berdampak pada kemajuan pola fikir di
tengah-tengah kaum Muslimin agar bisa mencapai kemajuan dan kebangkitan sebagaimana
yang di cita-citakan, demi terwujudnya tatanan kehidupan yang di ridhai Allah Subhananhu
Wata’ala.
E. Manfaat
Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat
teoritis maupun praktis, secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan
sumbangan bagi pengembangan Khazanah pemikiran ke-Islaman, khususnya
dalam aspek aqidah. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagi
Perguruan tinggi
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bai perguruan tinggi, khsusnya bagi akademisi yang
ingin mendalami ataupun mengembangkan pemikiran ke-Islaman terutama dalam
bidang Aqidah.
2.
Bagi
Peneliti lebih lanjut
Hasil
penelitian ini diharapkan mampu bisa memberikan gambaran bagi pembaca tentang
studi komparasi aqidah. Penelitian ini juga dapat berguna untuk dijadikan bahan
rujukan bagi penelitian selanjutnya.
F.
Metodologi Penelitian
Setiap
penelitian pasti menggunakan metode , agar memudahkan sebuah penelitian yang
akan dilakukan oleh penulis, untuk memfokuskan kajian dalam penelitian
tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) oleh
karena itu, pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik
dokumentasi.
Ada dua sumber data yang digunakan dalam tulisan ini Primer dan Sekunder. Yang di jadikan data Primer dari penelitian ini adalah Dua buah Kitab karangan Syaikh Taqiyuddin an-Nahani yakni Kitab Nizhomul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) Bab Qadha dan Qadar, dan kitab yang kedua adalah As-Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid I. sedangkan data Sekundernya adalah berbagai sumber yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti.dan juga tulisan-tulisan yang relevan dengan pokok permasalahan .
G. Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat
deskriptif: yaitu Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep buku . Di
sini peneliti menulis dengan berurutan tentang Konsep Qadha dan Qadar yang terkandung
di dalam buku tersebut.
H. Pengumpulan Data-data.
Teknik
yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan
mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara langsung
berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data sekunder
yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih
relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Adapun
prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar
sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan content analisys (analisis isi).
Kemudian data tersebut di sajikan secara deskripsiptif.
Analisis Data. Metode yang dipakai dalam
menganalisa data agar diperoleh data yang memadai adalah dengan menggunakan
analisa data kwalitatif, dalam operasionalnya data yang diperoleh
digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan
penalaran induktif dan deduktif . Deduktif merupakan penalaran yang berangkat
dari data yang umum ke data yang khusus. Aplikasi dari metode tersebut dalam
penelitian ini adalah bertitik tolak dari gagasan tentang konsep Qadha dan
Qadar, Sementara induktif adalah penalaran dari data yang khusus dan memiliki
kesamaan sehingga dapat di generalisirkan menjadi kesimpulan umum. Untuk
memperoleh suatu hasil penelitian yang valid secara ilmiah dalam sebuah
penulisan karya ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk
memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan secara akademis
serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Demikian pula dengan
penelitian ini.
Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, antara lain ;
Deskriptif Yaitu metode dengan memaparkan isi
naskah. Pemaparan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi detail-detail dari
suatu peristiwa atau pemikiran tokoh (deduktif) . Juga dipakai corak induktif
yakni dengan menganalisis keterkaitan semua bagian dan semua konsep pokok satu
persatu. Disini akan diuraikan secara teratur aspek Qadh adan Qodar dalam
pandangan Syaikh Taqiyddin an-Nabhani.
Interpretasi. Metode interprestasi yaitu metode
untuk menyelami data yang terkumpul untuk kemudian menangkap arti dan nuansa
yang dimaksud tokoh secara khusus. Di sini akan diselami arti, makna dan konsep
Qadha dan Qadar dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Kesinambungan Historis. Metode ini dipakai untuk melihat
beberapa faktor yang mengkonstruksi pemikiran sang tokoh yakni Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani.
D. Pembahasan
1.
Biografi As-Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani
a) Nasab dan Kelahiran
Nama lengkapnya
adalah Abu Ibrahim Taqiyuddin Muhammad
bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad bin
Nashiruddin an-Nabhani.[1]
Lahir pada tahun 1909 M atau
1910 M di desa Ijzim. Sebuah desa yang ada di sebelah selatan kota Haifa,
Wilayah Kiral Mahral. Berasal dari keluarga yang terpandang dalam ilmu
pengetahuan dan agama. Nasab beliau berasal dari keluarga besar An-Nabhani dari
Kabilah al-Hanajirah di Bi’ras Sab’a. Bani Nabhan merupakan orang kepercayaan
Bani Samak dari keturunan Lakhm yang tersebar di wilayah Palestina. Sedangkan
Lakhm adalah Malik bin Adiy. Bangsa dan suku yang banyak. Pada akhir abad ke 2
M, kelompok bani Lakhm tiba di Palestina bagian selatan. Bani Lakhm memiliki
kebanggaan terbaik di antaranya yang terkenal adalah Sahabat Nabi Tamim
ad-Dariy.[2]
Kepribadian
as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkembang ditengah keluarga yang taat beragama dan dibesarkan
dengan tradisi keilmuan yang sangat baik, tak heran di usia 13 tahun telah
hafal al-Qur’an[3].
Ayahnya adalah Syaikh yang Mutafaqqih fiddin bernama as-Syaikh Ibrahim
an-Nabhani, berprofesi sebagai Tenaga pengajar ilmu Syari’ah di Kementrian
Pendidikan Palestina. Kakek beliau dari pihak Ibu bernama as-Syaikh Yusuf
an-Nabhani, ulama yang membibing Ibunda beliau dan sekaligus mendidik Cucunya Syaikh Taqiyyudin. Syaikh Yusuf adalah Ulama
yang berpengaruh yang hidup di zaman
Daulah Khilafah Ustmaniyah.[4]
Kakek beliaulah yang paling banyak berpengaruh terhadap intelektual Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani.
b) Pendidikan
Pendidikan dasar
serta Tsaqofah-Tsaqofah Islam termasuk dasar-dasar ilmu Syari’ah diperoleh dari ayah dan kekeknya, Pendidikan
dasar Formal beliau peroleh dari sekolah negeri an-Nidzamiyah di daerah Ijzim, lalu
melanjutkan Studi menengah di Akka, setelah itu melanjutkan Studi menengahnya
di al-Azhar pada tahun 1928 dan lulus di tahun yang sama dengan Ijazah serta
prdikat yang sangat memusakan.[5]
Setelah
menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, as-Syaikh Taqiyuddin melanjutan
studi di Fakultas Darul ulum pada saat itu masih filial al-Azhar. Selain itu
beliau banyak mengikuti halaqah-halaqah ekstrakurikuler serta forum ilmiyah di
al-Azhar di antaranya pengajian as-Syaikh Muhammad Hidhir Husain. halqah-halqah
yang beliau ikuti terdiri dari dari berbagai jenis ilmu pengetahuan
terutama mengenai bahasa dan ilmu
Syari’ah, di antaranya fiqih, ushul Fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu
kalam).[6] Kuliyahnya
di Fakultas Darul Ulum ini selesai pada tahun 1932 M sekaligus berhasil
menyelesaikan kuliyahnya di Azhar berdasarkan model Tradisional. Keilmuan
beliau adalah hasil integrasi antara Metode Darul Ulum dan al-Azhar. Beliau
adalah orang yang cerdas, tekun belajar
sehingga menarik perhatian para dosen-dosen-nya akibat kecermatan dalam
berfikir, kekuatan berpendapat, dan argument-argumen yang dilontarkanya dalam
forum-forum ilmiyah di Kairo dan di tempat-tempat lain.
As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memperoleh
banyak ijazah, yakni
ijazah dengan predikat sangat memuaskan dari sekolah negeri tingat menengah
(ast-tsanawiyah) al-Azhar, Diploma Jurusan Bahasa dan Sasatra Arab dari
Fakultas Darul Ulum Kairo, dan Diploma dari al-Ma’had al-‘Ali al-Qadha’
as-Syar’iy filial al-Azhar Jurusan Peradilan. Tahun 1932 lulus di al-Azhar
dengan gelar as-Syahadah al-‘Alamiyah (Ijazasah setingkat Doktor) pada
jurusan Syari’ah.[7]
c)
Pekerjaan
Al-Ustadz
(Profesor) Ihsan Samarah menceritakan mengenai Pekerjaan as-Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani rahimahullahuta’alai terbatas pada pendidikan dan
peradilan (Qadha’). Setelah menyelesaikan studinya beliau kembali ke
Palestina dan bekerja di kementrian Pendidikan Palestina[8], sebagai
tenaga pengajar di sekolah menengah di
Haifa, selain itu mengajar disekolah
al-Islamiyah juga di Haifa. Beliau berpindah-pindah lebuh dari satu kota dan
sekolah sejak 1932 M hingga tahun 1938 M. kemudian beliau mengajukan permohonan
untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah. Alasan beliau berpindah ke Peradilan (qadha’)
adalah bahwa dalam pendidikan telah tekontaminasi pemikiran barat dan dibidang
Syari’ah tidak begitu Nampak. Beliau berkata “.. Adapun kaum terpelajar, maka
sebelum adanya pendudukan, para penjajah, di sekolah-sekolah misionarisnya, dan
diseluruh sekolah pasca pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum
pendidikan dan Tsaqofah
berdasarkan falsafah, peradaban dan pandangan hidup mereka yang khas.
Kemudian kepribadian ala barat di jadikan pijakan yang akan mencabut tsaqofah
(dari umat Islam). Sejarah dan kebangkitan barat juga dijadikan referensi
utama. Yang dengan semuanya itu mereka mencuci otak kita…”[9]
Inilah asalan as-Syaikh Taqiyuddin
meninggalkan pekerjaanya. Adapaun mahakamah Syari’ah menurut beliau masih
menerapkan hukum-hukum syara, hal ini bisa dilihat dalam pernyataan beliau,”…
Adapun system sosial yang mengatur hubungan pria dan wanita, serta apa saja
yang timbul dari adanya hubunga ini, yakni masalah perdata maka Mahkamah
Syari’ah masih menerapkan Syari’at Islam hingga sekarang, meski adanya
penjajahan dan pemerintahan kufur. Secara umum hingga sekarang belum pernah
diterapkan yang lain selain Syari’at Islam…”[10].
Setelah itu diangkat sebagai sektertaris di Mahkamah Syari’ah Beisan, lalu dipindahkan
ke Thabariya. Sempat mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islami
al-a’la (Dewan Tertinggi Islam) akhirnya beliau pindah ke Mahkamah Syari’ah
di Haifa dengan jabatan sebagai kepala sekretaris (Basy Katib).
Tahun
1940 naik jabatan menjadi Musyawir yakni Asisten Qadhi . hingga 1945,
hingga beliau dipindahkan ke Mahkamah Syari’ah di Ramallah dan belau menetap
disana hingga 1948, setelah itu beliau pergi meninggalkan Ramallah menuju Syam akibat Jatuhnya Palestina ke tangan
Yahudi[11]
d)
Karakter dan Kepribadian
al-Ustadz
(Profesor) Zahir Kahalah- Direktur Administrasi Fakultas al-Ilmiyah
al-Islamiyah, dimana beliau menemani as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selama
semasa kuliyah di al-Azhar menuturkan bahwa beliau adalah orang yang jujur,
mulia, bersih, akhlak, ikhlas, semangat, bergelora dan senisitif terhadap
persoalan ummat islam sebagai Dampak ditanamakannya Entitas Israel didalam
jantung mereka. Berkpribadian kuat, bicaranya menyentuh dan argumentasinya
meyakinankan. Beliau sangat tidak suka terhadap sikap apatis terhadap
prolematika ummat dan hanya sibuk dengan
kepentingan sendiri dan tidak bejuang untuk kepentingan umat. Beliau mengkritik
ulama-ulama Syam yang hanya tenggelam dalam sentiment keagamaan dan tidak
berkiprah dalam ranah aktifitas politik
Islam.[12]
sebagaiaman
yang di ungkapkan oleh salah seorang sahabat belaiu di Libanon. Beliau mampu
menjaga pandangan mata dan lisanya. Pribadi yang bertaqwa dan mulia sebgaimana
namanya[13] Terhadap
sikap as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terhadap harokah dakwah yang lain
khususnya terhadap para pengemban Dakwah Islam, meski berbeda dalam Ijtihad,
beliau tak pernah mencaci, mencela dan menghina mereka.
e) Aqidah dan Mazhab
Mazhab as-Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani adalah Syafi’i[14] hal ini bisa disadarkan pada, bahawa sejak
kecil beliau telah didik oleh kakeknya, as-Syaikh Yusuf an-Nabhani yang
bermazhab Syafi’i. Namun beliau sangat berhati-hati terhadap isu sektarianisme,
menurut beliau bahwa Mazhab Ja’fariy (salah satu mazhab Syi’ah)
merupakan salah satu dari sekian banyak mazhab Islam., sebab Ushul yang
menjadi landasanya baik dalam hal aqidah dan hukum paling dekat dengan
ahlusunnah. Dalam kitab beliau As-Syakhshiyah al-Islamiyah jilid
pertama, beliau rahimahullah menjelaskan bahawa Rukun Iman itu ada enam;
Iman kepada Allah, iman kepada para Malaiktanya, Rasul, hari kiamat, dan Iman
kepada Qadha dan Qadar, baik buruknya dari Allah subhanahuwata’ala. Hal
ini bisa ditemukan saat membahas topik mengenai al-‘Ishmah (kemaksuman
Nabi dan Rasul), Wahyu dan lainya. [15]
Adapun
yang menjadi salah satu keistimewaan metode beliau dalam menggali hukum dan ber
Ijtihad adalah menjadikan realitas sebagai Objek berfikir, bukan sumber dalam
menetapakan hukum atau mendundukan realitas untuk dipecahkan dengan hukum syara
dan membentuk realitas sejalan dengan hukum dengan Islam. Beliau tidak
menjadikan hukum Syara tunduk mengikuti realitas, sebagaimana yang dilakukan
oleh ulama Kontemporer, yang sering menarik ulur nash-nash untuk menyesuaikan
dengan realitas, serta menyenagkan nafsu penguasa. As-Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani bukan tergolong diantara orang yang melihat dan merasa bahwa hanya
pendapatnya saja yang benar sementara penapat orang lain bathil (salah),
apalagi sampai men tahdzir atau memvonis sesat-menyesatkan, beliau
bukanlah tipe yang suka membid’ahkan. Tetapi beliau melihat pendapatnya benar
namun tidak menutup kemungkinan salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah,
namun tidak menutup kemungkinan benar.[16] Inilah
yang menjadikan beliau banyak mendengarkan, mengkaji dan meneliti
pendapat-pendapat lainya, meski beliau tetap mempercayai pendapatnya.
F) karya-karya intekektual
As-Taqiyuddin an-Nabhani banyak
meninggalkan karya intelektual yang membahas banyak persoalan, baik Hukum
Syara, Politik, Ekonomi dan Sosial. Dalam bidang pemikiran sejumlah 30 buah.tidak
termasuk nota-nota analisis Politik. Cirri khas tulisan beliau berbentuk
teorisasi (tanzhiriyah) sistematisasi (tanzhimiyah), atau
buku-buku yang dedikasikan untuk mengembalikan kehidupan Islam (isti’naf
al-Hayah al-Islamiyah). [17]
Karya yang paling
menonjol adalah pemikiran, yakni (1) Nidzom al-Islam ,(2) at-Takatul
hizby, (3) Mafahim Hizb at-Tahrir, (4) an-Nidzam al-Iqtishadi fi
al-Islam, (5) an-Nidzom al-Ijtim’aiy fi al-islam, (6) Nidzhom
al-Hukm fi al-Islam, (7) ad-Dustur, (8) Muqaddimah ad-Dustur,(9)
ad-Daulah al-Islamiyah, (10) asy-Syakhshiyah al-Islamiyah tigal
Jilid, (11) Mafahim Siyasah li Hizb at-Tahrir,(12) Nadzorat Siyasiyah,(13)
Nida’ Har,(14) al-Khilafah, (15) at-Tafkir, (16) al-Kurrasah
(17) Sur’ah al-Ba’dihah, (18) Nuqtah al-Intilaq, (19) Dukhul
Mujtama’, (20) Inqadz al-Filistin,(21) Risalah al-Arab, (22) Tasllahu
Mishr, (23) al-Ittifaqiyat ats-Tsuna’iyah Mishriyah as-Suriyah wa
al-Yamaniyah, (24) Halla Qadhiyah Filasthin ala ath-Thariqah al-Amirikiyah wa al-Injilziyah, (25)
Nadzoriyah al-Faragh as-Siyasiy haula iznahawar, (26) as-Siyasah
al-Iqtishodi al-Mustla, (27) Naqdhu al-Istirakiyan al-Markisiyah, (28) Kaifa Khudimat al-Khilafah, (29) Nidzom
al-Uqubat, (30)ahkam as-Shalah,
(31) ahkam al-Bayyinat,(32) al-Fikr al-Ismaiy, (33) Naqh
al-Qanun al-Madaniy. Disamping itu
masih ada ribuan selebaran yang berbentuk pemikiran,Politik, dan Ekonomi.
Yang paling
menonjol buku mengenai pemikiran yakni al-Fikr al-Ismaiy (Pemikiran
Islam), Naqdhu al-Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritikan
atas sosilis-Marksisme), at-Tafkr (membangun cara berfikir), Su’ratul ba’dihah (membangun kecepatan berfikir). Ciri khas buku-buku pemikiran yang ditulis adalah metodologinya yang menjadikan Islam sebagai konsepsi Ideologis yang digali dari dalil-dalil Syara al-Qur’an dan Sunnah.
atas sosilis-Marksisme), at-Tafkr (membangun cara berfikir), Su’ratul ba’dihah (membangun kecepatan berfikir). Ciri khas buku-buku pemikiran yang ditulis adalah metodologinya yang menjadikan Islam sebagai konsepsi Ideologis yang digali dari dalil-dalil Syara al-Qur’an dan Sunnah.
g) Wafat
As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
enggan hidup sebagai penulis yang karya-karyanya hanya untuk melengkapi koleksi
perpustakaan, pengarang yang karyanya hanya untuk dipelajari, peneliti yang
hanya sebatas menemukan kebenaran, berkarir dibidang politik, atau sebagai
pengajar politik. Tapi beliau ingin
hidup sebagai peneliti dan penulis untuk menyadarkan dan membangkitkan ummat
berdasarkan Islam. Memerangi serangan pemikiran dan peradaban yang telah
merasuk ke tengah para pelajar dalam waktu yang lama. Berusaha keras
membebaskan ummat dari penjajahan pemikiran, frustasi dan serangan budaya.
Selanjutnya, mengurusi urusan ummat dengan Islam, setelah ummat kembali dan
percaya dengan Islam dan solusinya.
Terjadi perbedaan pendapat seputar
wafatnya as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Sebagaian peneliti mengatakan bahwa
beliau wafat pada tanggal 25 Rajab 1397
H/ 20 Juni 1977 M. ini masih perlu di klarifikasi sebab tanggal 25 Rajab 1397 H
tidak bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977, tetapi tanggal 30 Juni. Sedang Koran ad-Dustur menyebutkan,
bahwa as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada hari kamis 19 Muharram 1398/29
Desember 1977 M. mungkin saja tanggal ini bukan tanggal wafatnya, melainkan
tanggal dipublikasikannya pengumuman hari wafat beliau di koran. Sebab Hizbut
Tahrir mengumumkan hari wafat beliau dalam Bayaan (penjelasan)-nya. Bahwa as-Syiakh Taqiyuddin an-Nabhani wafat
pada tanggal 1 Muharram 1398 H atau tanggal 11 Desember 1977 M.inilah sumber
yang bisa dijadikan pegangan.[18]
Seorang anggota dewan palestina,
Muhammad Dawud Audah,menceritakan bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah
orang yang fakir dan beliau wafat dalam keadaan fakir.tinggal dilantai lima
sebuah apartemen, dengan rendah hati menaiki apartemennya dengan jalan kaki,
sebab belum ada lift. Pada awal decade tujuh puluhan beliau pergi ke Irak dan
ditahan tak lama setelah kampanye besar-besaran penangkapan aktifis Hizbut
Tahirir.namun penguasa tak mengetahui bahwa beliau adaah Asy-Taqiyuddin
an-Nabhani pemimpin Hizbut Tahrir.beliau disiksa dengan siksaan yang keras
hingga beliau tidak mampu berdiri lagi karena banyakanya siskasaan. Bahkan
beliau merupakan tahanan terakhir di antara tahanan hizbut Tahrir yang mereka
bantu untuk berdiri ketika dikembalikan kedalam penjara. Siksaan itu terus
berlangsung hingga beliau mengalami lupmuh separoh badanya (hemiplegia).
Setelah itu belai dibebasakan dan
pergi ke Libanon, disana belau mengalami kelumpuhan pada bagian otak, tak lama
kemudian belaiu dibawa kerumah sakit dengan nama samara. Disana asy-Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani rahimahillahuta’ala wafat. Beliau dikebumikan di
pemakaman as-Syuhada di Hirsy, Beirut di bawah pengawasan yang sangat
ketat, dan dihadiri oleh hanya segelintir orang dari anggota keluarganya.
2.
Latar belakang Historis timbulnya Polemik
Qadha dan Qadar
Kaum muslimin dalam rangka untuk
mengemban Dakwah Islam ke seluruh dunia, menghapus kekufuran serta menangkis
segala keyakinan bathil sebagai wujud dan tanggung jawab, maka telah mendorong
dilaksanakanya penaklukan-penaklukan (Futuhat). Metode yang unik dalam
mengemban ideologinya adalah dengan dakwah dan Jihad .[19]
dakwah berlangsung secara damai yakni dengan diskusi-diskusi dengan argumentasi
yang lebih bijaksana.
Aktifitas Dakwah dan Jihad adalah
kewajiban yang paling mendasar. Sehingga, pasukan yang ikut dalam penaklukan di
suatu negeri tak hanya sekedar menaklukan wilayah itu, akan tetapi berdakwah
ditengah-tengah masyarakat. Mereka memahamkan ajaran-ajaran islam secara damai
dalam rangka mengubah keyakinan-keyakinan bathil mereka. Ini bisa dipahami
bahwa penaklukan adalah upaya untuk menghilangkan penghalang dakwah sehingga
kaum muslimin mudah dalam menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Aktifiitas dakwah yang dilakukan
bersifat Fikriyyah, adu pemikiran dalam argument dan hujjah serta bukti atau
dalil saat berdiskusi.[20]
Tatkala tahapan interaksi antara kaum muslimin dan non muslim ini terjadi, maka
ada hal baru yang belum pernah dikenal sebelumnya yakni cara berfikir secara
Filsafat terutama dalam membahas persoalan Aqidah. Sehingga inilah yang
mendorong kaum muslimin termotifasi untuk belajar Filsafat Yunani dalam
berdebat. Sayangnya mereka malah terjebak dan terpengaruh cara berfikir
filsafat Yunani[21].
Aliran pemikiran yunani berkembang pada saat itu adalah Epicurisme dan Riwaqqisme.[22]
Duat kutub Filsafat Yunani yang membahas tentang Perbuatan manusia.
Epicurisme adalah aliran
filsafat yang didirikan oleh filosof yunani bernama Epicurus (341-270 SM).
Aliran ini memperkenalkan pemahaman bahwa perbuatan manusia itu bebas (Free
will). Kebalikan dari Epicurisme adalah aliran riwaqqisme,
aliran ini didirikan oleh Zenon (sekitar 264 SM). Aliran ini berpendapat bahwa
kebahagiaan terletak pada keutamaan, dan manusia tidak mengalami kebahagiaan
kerana sesuatu yang didapatakanya. Dan tidak mengalami kesedihan saat ditimpa
Sesutu, sebab manusia adalah bagian dari entitas jagad raya, semua yang ada dan
yang terjadi sudah ditentukan berdasarkan ketetapan yang telah diatur sejak
zaman azali, atas dasar itu, manusia dipaksa dan tidak bisa keluar dari
ketetapan yang telah di tetapkan kepadanya.[23]
Petarungan kedua konsep inilah yang mempengaruhi pola pikir kaum Muslim apakah
dipaksa atau bebas, kaum Muslimin pecah dan terjebak pada dua kutub antara
“keterpaksaan dam memilih”.
Akar historis lainya mengenai Qadar
bisa ditelusuri sejak zaman Tabi’ut Tabi’in. sejak masa Setelah generasi
Sahabat berlalu, maka berganti dengan generasi berikutnya yakni periode
Tabi’in, mereka adalah generasi ketiga sekaligus menjadi murid para sahabat.
Pada periode ini, Embrio mengenai Qadar
sudah mulai Nampak, terutama dizaman pemerintahan Umayyah, isu yang berkembang
adalah: La Qaar (tidak ada
Takdir), hal ini sebagaimana yang dilaporkan oleh Muslim bahawa orang yang pertama kali melontarkan
isu ini adalah Ma’bad al-Juhani (w.80 H/701 M), Isu ini muncul pada tahun 70
H/691 M. di daerah Bashrah. [24] penduduk
bashrah yang mengetahui isu ini di mendatangi Abdullah bin Umar (w.73 H/694 M)
Madinah[25].
Informasi yang lain berasal dari al-Tirmidzi, sebagaimana seorang yang bernama
‘Abd al-Wahid bin Sulaym datang dari Kufah kepada Ibn Abi Rabbah di Mekkah
untuk menanyakan hal yang sama[26]
Faktor lain yang cukup andil dalam
sejarah munculnya pembahasan Qadha dan Qadar sebagai bagian dari ilmu Kalam,
adalah faktor internal kaum Muslimin. Berawal dari Fitnah al-Kubra,
setelah terbunuhnya Ustman bin affan melahirkan konflik Politis hingga merembet
ke persoalan Teologis. Peristiwa Tahkim dan munculnya Kelompok Syi’ah dan
Khawarij menjadi salah satu pemicu lahirnya perdebatan dan perpecahan
aliran-aliran Kalam, khususnya dalam masalah Qadha dan Qadar.
3.
Kelompok yang
bertikai mengenai qadha dan qadar
a)
Kelompok Mu’tazilah/
Qadariyah[27]
Menurut Asy-Syahrastani[28]bahwa
Golongan Mu’tazilah juga dinamakan Qadariyyah yang bermakna dipakai untuk orang
yang mengakui Qadar. Akan tetapi kata penamaan Qadariyah lebih identik dengan
kelompok yang bertikai dalam masalah Takdir dan perbuatan Manusia. Menurut
Dr.Muh.Rusli[29]
dalam bukunya Khasanah Teologi Islam, kelompok Qadariyah yang
dinisbatkan kepada pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimisyqi.
Sementara Mu’tazilah dikenal dengan sebagai aliran yang dibangun oleh Washl bin
Atha, tokoh yang dikenal sebagai orang yang mendukung gagasan Ma’bad al-Juhani.
Washil bin Atha
adalah Tokoh Mu’tazilah yang mendukung serta mengembangkan konsep Qadar yang
dibawa oleh Ma’bad al-Juhani, sebagaimana yang dilaporkan oleh Ibn Hajar bahwa
Ma’bad pernah ke Madinah dan merusak pemikiran orang-orang Madinah mengenai ide
La Qadar-nya[30]
sehingga hal ini sangat peluang bagi
Washil mendapatkan pengaruh langsung mengenai ide Qadar dari Ma’mad al-Juhani.
Kata Qadar dipergunakan untuk
kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah, mereka juga berpendapat
bahwa manusia berkuasa atas perbuatanya sendiri, entah perbuatan itu baik atau
buruk, untuk itulah manusia berhak mendapatkan balasan atas perbuatan baiknya
atau keburukanya. Dan Allah wajib untuk membalas kebaikan itu dengan pahala.
Atau kejahatan manusia dengan siksa. Semantara kafir dan maksiat bukan dari
Allah, jika dari Allah berarti dia telah zalim.
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar dari kitab Luwis Ma’aluf, Al-Munjid fi
Al-Lughah, Mu’tazilah secara
bahasa berasal dari kata I’tzala yang berarti “terpisah” atau “memisahkan diri, juga
bisa diartikan menjauh atau menjauhkan.Kemunculan
kelompok ini juga akibat konstalasi politik kaum muslimin sehingga mereka mengabil
posisi netral dari Khawarij dan Murji’ah. Sejarah kemunculanya juga berawal
dari majelis Imam Hasan al-Bashri yakni salah seorang muridnya yang bernama
Washil bin Atha dalam perdebatan mengenai pelaku dosa besar apakah kafir atau
mu’min, Washil mengemukakan pendapat lain yang berbeda dari gurunya sehingga ia
di usir dari majelis itu, sehingga pengikut konsep Washil bin Atha dikenal
dengan istilah Mu’tazilah, artinya memisahakan diri dari kajian gurunya.[31] Keterkaitan
antara Washil bint atha dan Mu’tazilah dengan masalah Takdir dan perbuatan
manusia adalah salah satu konsepnya yang mengatakan bahwa manusia bebas dengan
perbuatanya.[32]
Manusia yang menciptakan perbuatanya dan bebas memilih mana yang baik dan mana
yang buruk. Keadilan Allah patut untuk dipertanyakan manakala perbuatan manusia
telah ditentukan.sehingga manusai dihukum akibat melakuakan perbuatan yang
tidak disukai Allah, sementara perbuatan dari Allah.
Ajaran Qadariyah adalah bahwa
manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatanya. Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
tunduk dan dipaksa pada Qadar Allah. Atau dalam istikah lain free will .
Ayat yang dijadikan landasan adalah
QS Ar Rad (13):33
“ Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.”.
È@è%ur
,ysø9$#
`ÏB
óOä3În/§
(
`yJsù
uä!$x©
`ÏB÷sãù=sù
ÆtBur
uä!$x©
öàÿõ3uù=sù
4
“29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”[33].
Cirri-ciri pemikiranya adalah
1.
kedudukan akal yang tinggi
2. kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatanya
3. kebebasan
berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Hadist yang
sedikit Jumlahnya.
4. Percaya
akan adanya sunnatullah dan hukum kausalitas\
5. Mengambil
metaforis dari teks wahyu
Pandangan Qadariyah di ilustrasikan
seperti Tuhan sebagai “pembuat Jam”[35].
Memang Tuhan yang merancang dan menciptakan jam, tapi setelah itu tuhan tak
lagi berkuasa dan hanya ditempat lain sambil melihat gerak jarum jam yang
diciptakanya, tanpa ada lagi kesempatan untuk menginterpensi aktifitas jam itu.
Jika
dilihat kelompok Qadariyah dalam hal perbuatan manusia sangat dekat dekat
dengan konsep Filsafat Epicurisme atau Free Will. Atau di era modern ini
sejalan dengan konsep Deisme di barat. Dimana perbuatan manusia adalah
bebas tanpa kehendak Tuhan.
b). Kelompok
Jabbariyah
Istilah Jabar dapat diartikan Menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
aliran ini didirikan oleh Jaham bin
Shafwan at-Tirmidzi (124 H/745 M)[36]. Ia
berasal dari Khurasan sebagai seoran Mawla ,lalu menetap di
Kufah. Ia adalah orator ulung dan fasih dan dibunuh pada tahun 131 H di masa
akhir kekhilafahan Bani Umayyah[37]
Pemahaman
Jabariyah adalah sebagai anti thesis dari paham Qadariyah maupun Mu’tazilah.
Yakni meyakini bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas perbuatanya, sebab semua
perbuatan adalah berasal dari Allah subahanuwata’ala.
Manusia tidak
memiliki kekuasaan sedikitpun, dan tidak bisa dikatakan memiliki kemampaun
(istitha’ah). Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia tetapi pada
hakikatnya tidak lahir dari manusia, sebab manusia tidak memiliki kekuasaan,
tidak memiliki keinginan dan tidak ada pilihan baginya untuk menolak.
Ayat-ayat yang
menjadi sandaran adalah
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
“96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".[38]
Cirri khas pemikiran
Jabariyah dimisalkan seperti Tuhan yang menciptakan Robot, yang mahu atau
tidak, harus tunduk dan patuh terhadap desain program yang telah ditetapkan.dan
perbuatan manusia itu dipksa oleh Tuhan. Ini sangat mirip dengan konsep
Filsafat Yunani Riwaqqisme, bahwa perbauatan manusia senantiasa dalam
keterpaksaan (Determinis).
c). Kelompok al-Asy’Ariyah
Kelompok
Asy’ariyah didirikan oleh al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa al-asy’ari (Abu
hasan wafat 234 H/936 M). asy-Syahrahstani menamakan kelompok ini dengan
sebutan Ash-Shifatiyah yakni karakteristik pemahaman mirip dengan Abu
Musa al-asy’ari saat berdebat dengan Amr bin al-Ash dalam peristiwa Tahkim.[39].al-asy’ari
hidup pada masa akhir pemerintahan Khalifah al-Ma’mum dan awal pemerintahan
al-Mutawakkil dari Daulah Abbasiyah. Pada maa al-Mutawakkil Mazhab Resmi
Mu’tazilah dihapus dari mazahab Negara.[40]
Kemunculan
kelompok al-Asy’ari yang menamakan diri sebagai Ahlu Sunnah adalah sebagai
reaksi atas kelompok Qadariyah dan Jabbariya. Awalnya al-asy’ari adalah penganut
Mu’tazilah di bawah pengaruh gurunya al-Juba’iy. Akan tetapi dalam beberapa
perdebatan al-asy’ari tidak mendapat kepuasaan sehingga akhirnya memutuskan
untuk keluar dari Mu’tazilah.
Menurut al-asy’ari
bahwa kehendak tuhan adalah mutlak, dia mutlak berkehendak dan berbuat.
Perbuatan manusia dari Allah tapi manusia punya konsep Kasb AL-Ikhtiyar.
Akan tetapi pandangan ini mirip dengan pandangan Jabbariyah[41] Meskipun Asy’ariyah berusaha menengahi
perdebatan ini tetap saja lebih bercorak Jabariyah. Menurut Imam Abul Fadl
Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghoffar al Iji dan Imam Ali bin Muhammad bin
Ali al Jurjani membagi Jabariyah menjadi dua, yaitu Jabriyah mutawassithoh
(moderat) seperti Asy’ariyah dan Jabariyah kholishoh (ekstrim)
seperti Jahmiyah Jabariyah pertengahan.[42]
Dengan demikian model pemikiran asy’ariyah mengenai Qadha dan Qadar
menyisakan ruang perdebatan yang belum selesai.
Konsep
Kasb al-Ikhtiyari dapat
dijelaskan sebaai berikut;
“Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT secara mutlak. Manusia
tidak memiliki kekuasaan dan andil untuk menciptakan perbuatanya. Manusia hanya
memiliki andil dalam pelaksanaan perbuatan tersebut (kasb a-Ikhtiyari). Manusia
akan disiksa dan diberi pahala berdasarkan kasb al-Ikhtiyari tersebut. Yang
disebut kasb al-Ikhiyari adalah kehendak (iradah) dan kemampuan (istitha’ah)
manusia dalam melaksanakan perbuatan. Allah menciptakan perbuatan manusia
ketika manusia berkehendak dan memiliki kemampuan untuk melaksankan perbuatan
tersebu. Tetapi perbuatan itu tercipta bukan karena kehendak (iradah) dan kekuasaan manusia, akan tetapi kerana
iradah dan kekuasaan dari Allah subhanahu wa’tala. Dengan kata lain, manusia
hanya melaksanakan apa yang telah di tetapkan dan telah dikehendaki Allah
berdasarkan iradah dan kemampuanya (kasb al-Ikhtiyari). Manusia akan
mendapatkan siksa dari Allah jika kehendaknya buruk, dan ia akan mendapatkan
pahala jika kehendaknya mengandung usnur ketaatan.”[43]
Pada dasarny al-asy’ari menurut al-Juwayni mengatakan bahwa dalam
kenyataanya al-asy’ari tidaklah sungguh dalam teologinya, tetapi sebagai
sebagai Juru damai terhadap dan mengambil jalan tengah terhadap konsep ekstrim saat
itu.[44]
4.
Konsep Qadha dan Qadar menurut pandangan
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Sebagaimana
yang ditulis dalam kitabnya Nizhomul Islam (Peraturan Hidup
dalam Islam) bahwa:
“……..Apabila kita meneliti masalah qadla dan qadar, akan kita dapati bahwa
ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui
terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia,
dilihat dari apakah diciptaan Allah atau oleh dirinya sendiri. Juga tidak menyangkut Ilmu Allah, dilihat
dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
hamba-Nya, dan Ilmu Allah itu meliputi segala perbuatan hamba. Tidak terkait
pula dengan Iradah Allah –sementara Iradah Allah dianggap berhubungan dengan
perbuatan hamba- sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Tidak juga berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah
tertulis dalam Lauhul Mahfudz -yang tidak boleh
tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di
dalamnya……….”.[45]
tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di
dalamnya……….”.[45]
Berdasarkan uraian ini bahwa Syaikh
Taqiyuddin dalam menguraikan masalah
Qodha dan Qadar itu terlebih dahulu memisahkan antara perbuatan manusia, ilmu
Allah, dan Lauhul Mahfudz. Perbuatan manusia tidak bisa dibenturkan dengan ilmu
Allah, apakah perbuatan manusia itu “dipaksa” atau “dibebaskan” sebab pada
dasarnya Ilmu Allah meliputi segala perbuatan manusia, sehingga di sini manusia
tak memiliki otoritas lebih jauh mengkaji atau mempertanyakan mengenai Ilmu
Allah. Begitu juga mengenai Iradah Allah dan Lauhul Mahfudz, sebab mau atau tidak, terpaksa atau rela
kehidupan manusia harus tunduk sesuai apa yang telah tertulis dalam lauhul Mahfudz.
Dalam
masalah ini as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhanni berpendapat bahwa yang berbeda
dengan Ahli Sunnah (Asy’ariyah), Mu’tazilah, dan Jabariyah. Beliau melihat bahwa
masalah ini harus di pisahkan dengan Ilmu Allah, sebab Ilmu Allah meliputi
segala sesuatu. Dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Iradah Allah
danLauhul Mahfudz, akan
tetapi Qadha wal Qadar adalah berhubungan dengan perbuatan hamba. Dalam hal
ini seluruh perbuatan manusia berada dalam dua dimensi, yakni “dimensi yang
dikuasai” dan “dimensi yang tak bisa dikuasai atau yang mengusai manusia”. Area
yang menguasai manusia inilah yang dimanakan Qadha, terbagi atas dua yakni Nizhamul Wujud ( Sunnatullah), kemudian yang bukan Sunnatullah, tetapi manusia tak bisa
kendalikan, misalnya terkena peluru yang nyasar. Sedangkan yang dimaksdu Qadar, berlaku
pada benda saja, contohnya Api diciptakan Allah berkhasiat membakar, sedang
kayu berkhasiat terbakar. Apabial api tak bisa menghanguskan kayu itu berarti
khasiatnya telah di cabut oleh Allah. [36][46]
a). Konsep Qadha
Penggunaan kata
Qadha dalam al-Qur’an hanya sekedar
makna bahasa saja dan tidak memiliki makna Syara. Lafadz Qadha merupakan kata Musytarak memiliki beberapa makna Dan tidak ada kaitanya
dengan Qadha dan Qadar yang diperselisihkan oleh Mutakallimin.[47]
Sehingga perlu di pisah antara pemakaian Istilah Qadha dan Qadar dalam
al-Qur’an dan Istilah Qodha dan Qodar dalam istilah ilmu kalam.
Konsep Qodha dalam al-qur’an
bermakna ilmu Allah dimana manusia tak ada hak untuk ikut campur atas ketetapan
Allah seperti Kematian, Rejeki, dan lain sebagainya. Dalam prsefektif qodha dan
Qodhar Mutakallimin itu berkisar perbuatan manusia, pada pertanyaan apakah
manusia itu dipaksa atau bebas. Atau konsep kasb al-Ikhtiyar Asy’ariyah.
Pemikiran
Taqiyuddin an-Nabhani mengenai Qadha dan
Qadar bahwa
1. tak ada hubungan dengan perbuatan manusia, apakah perbuatan itu dari Allah yang dipaksakan kepada manusia, atau dilakukan oleh manusai itu sendiri
1. tak ada hubungan dengan perbuatan manusia, apakah perbuatan itu dari Allah yang dipaksakan kepada manusia, atau dilakukan oleh manusai itu sendiri
Perbuatan manusia pada dasarnya adalah fakta yang terindra, sehingga dapat di amati dan bisa disimpulkan bahwa manusia itu hidup dalam dua ruang lingkup yan berbeda dan memiliki realitas yang amat berbeda pula. Fakta-fakta perbuatan manusia terbagi dua yakni pertama Wilayah yang dikuasainya dan Wilayah yang menguasai manusia.[48]
Area yang
menguasai manusia terbagi atas dua yakni, area yang menguasai manusia yang
dipengaruhi oleh Sunnatullah dan yang kedua area yang menguasai manusia
akan tanpa dipengaruhi oleh Sunnatullah (hukum Alam). Pertama area yang
menguasai dan memaksa manusia tunduk serta dipaksa, hal ini dipengaruhi Nizhomul
wujud (sunnatullah) memaksa manusia untuk tunduk sepenuhnya seperti
Di sini, manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya, manusia
datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang di udara, tidak bisa
berjalan di atas air hanya dengan tubuhnya. Ia tidak dapat menciptakan warna
biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya, Akan tetapi semua itu diciptakan Allah
SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba (makhluk)-Nya.
Hanya Allah-lah
yang menciptakan nizhamul wujud yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam diperintah untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya
tanpa kuasa untuk melanggarnya.
Kedua wilayah
yang menguasai manusia dan tidak dipengaruhi Nizhomul wujud . tetapi tak
dikuasai dan diluar kehendak manusia.adalah kejadian atau perbuatan yang
berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok
lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bisa dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang dan sebagainya.
lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bisa dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang dan sebagainya.
Semua kejadian yang berasal dari
manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya dan tidak
terikat dengan nizhamul wujud, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Karena itu, dapat digolongkan ke dalam area kedua, yakni daerah yang menguasai manusia. Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai
manusia inilah yang dinamakan Qadha (keputusan Allah). Sebab
Allah-lah yang memutuskannya. [49]
Karena itu, dapat digolongkan ke dalam area kedua, yakni daerah yang menguasai manusia. Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai
manusia inilah yang dinamakan Qadha (keputusan Allah). Sebab
Allah-lah yang memutuskannya. [49]
b). Konsep
Qadar
Lafadz al-Qadar secara etimologis
merupakan lafadz Musytarak (mempunyai banyak makna) antara lain Qadara
al-amra ay dabbarahu (mengatur urusan), Qadara al-Syay’a bi al-Syay’I ay
Qasahu (menganalogikan sesuatu), Qadara ‘alayh rizqahu ay-dayyaqahu (menyempitkan
rezekinya).[50]
Mengenai konsep Qadar, Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan:
“Seluruh
khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun naluri
serta kebutuhan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan).[51]
Qodar bermakna ketetapan Allah atas
Khasiat dan sifat serta ukuran benda,
meliputi naluri yang menjadi sifat manusia. Qadar, uraiannya adalah sebagai
berikut. Bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia
ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa
benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun
kehidupan. Allah SWT
telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentupada benda-benda.
Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat
khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah
SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul
wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. pada diri manusia telah diciptakan
pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani.
Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya
pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan diri (gharizatul baqa)
dan melestarikan keturunan (gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan
seksual. Dalam kebutuhan jasmani
diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Semua
khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud
(peraturan alam yang ditetapkan Allah).
Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah
(potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila
sesuai dengan perintah Allah.[52]
Gharizah atau naluri yang telah Allah tetapkan lewat Qadar pada diri
manusia seperti naluri beragama (Tadayyun),
naluri berketurnan (Nawu) dan naluri mempertahankan diri (Baqa)
sekaligus kebutuhan fisik dan khasiat yang terdapat pada benda-benda diserahkann kepada manusia untuk
menggunakan dan memanfaatkanya. Apakah manusia akan memenuhi dorongan naluri
dan menggunakan khasiat atau potensi benda itu sesuai dengan perintah dan
larangan Allah atau tidak.
Disinilah berlaku balasan pahala dan
siksa atas pilihan yang telah diambil oleh manusia. Qadar (ketetapan) yang
telah Allah Subahanahu Wata’ala telah tetapkan pada benda-benda bisa
dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an
Mengenai kebutuhan fisik
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan
siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.[53]
Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”[TQS an Naba: 9]
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Yaitu termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya Allah menjadikan sifat tidur bagi kalian diwaktu malam dan siang, dengan tidur, ketenangan dan rasa lapang dapat tercapai dan rasa lelah serta kepenatan dapat hilang”.
Mengenai
khasiat segala sesuatu Allah berfirman.
“(Tuhan) yang
menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk” [54]
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya”[55]
Besi telah di Taqdirkan atau telah
ditetapkann dengan khasiat yang melekat, yakni keras, apabila ditajamkan bisa
melukai dan memotong, itulah qadar. Begitpun api telah ditetapkan lewat qadar
bisa membakar dan menghanguskan. Tinggal manusia yang memilih apakah akan
memakai besi untuk membunuh dan menggunakan api untuk kehajatan atau pun untuk
kebaikan. Maka inilah posisi Qadar yang sesuai dengan posisinya Maka manusia
harus mengimani qadar ini.
Menurut Hafidz Abdurrahman[56]
pembahasan mengenai lafadz al-Qadar telah mengalami penyimpangan
termasuk dalam aspek bahasan maupun dalam realitas Syara. lafadz-lafadz
tersebut dimaknai secara berbeda oleh para Mutakallimin.
Kesalahan mutakallimin dalam
membahas Qadar, mereka terjebak pada kesalahan memaknai Qadar sebagai Manusia
di paksa atau diberi kebebasan, atau keputusan yang menyeluruh dalam perkara
cabang dan rincian, atau rahasia Allah. Kesalahan ini terjadi akibat Mutakallimin
tidak membedakan antara pembahasan mengenai perbuatan manusia di satu sisi yang
di akui atau tidak faktanya terkadang “mujbar dan mukhayyar” dan pembahasan ilmu
Allah.
Nash-nash al-Qur’an yang berbicara
tentang Qadar adalah fakta Syara dengan pemakaian lafadz yang memiliki makna
berbeda-beda:
Firman Allah
dalam AL-Qur’an yang artinya
“ Dan
sesungguhnya ketetapan Allah itu adalah ketetapan yang pasti”[57]
“maka, air-air
itu bertemu berdasarkan kejadian yang telah di tetapkan (di lauhul Mahfudz).”[58]
“dan dia telah
menetapkan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya)-nya”.[59]
“Dia
sesungguhnya telah memikirkan dan menetapkan (apa yang telah di tetapan
olehnya)”.[60]
$¯RÎ)
¨@ä.
>äóÓx«
çm»oYø)n=yz
9ys)Î/
ÇÍÒÈ
Tidak ada satu
pun ayat di atas yang merinci bahwa Qadar allah ber arti rahasia Allah. Atau
keputusan dalam urusan cabang dan rincian. Atau manusia di paksa melakukan
suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, bahwa al-Qur’an menggunakan lafadz
tersebut sesuai konotasi bahasa, yang berbeda dengan konotasi istilah yang
dipakai Mutakallimin. Makna yang sama juga bisa di temukan dalam al-Sunnah. Akan
tetapi secara umum maksud ayat al-Qur’an dan hadis mengenai lafadz Qadar
sebagaimana dalam ungkapan dalam hadist.
"
وَبِاالْقَدْرِ خَيْرٍوَشَرِّهِ مِنَ اللُّهِ"
Artinya” dan
(beriman) kepada Qadar,bahwa baik dan buruknya sama-sama dari Allah”[62]
E.
Kesimpulan
Konsep Qadha dan Qodar dalam Islam
yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah itu berbeda dengan konsep
Qodha dan Qodar dalam ilmu kalam yang terpengaruh filsafat. Sehingga harus di
pisah mana Qadha dan Qodar Islam dan mana konsep murni ilmu kalam. dalam
Al-qur’an tidak di temukan kata atau kalimat yang menggabungkan Qodha dan Qodar
dalam satu kata. Yang ada adalah kata Qodha mengandung penegertian lain. Dan
kata Qodar mengandung makna lain.
1.
Intinya beliau berusaha memposisikan
pembahasan Qadha dan Qadar sesuai dengan kapasitas fitrah dan manusia dan
sesuai dengan pemaknaan yang dikehendaki oleh nash-nasah syara
2.
Memisahkan antara Qadha dan Qadar
dalam al-Qur’an dan Hadist serta makna Qadha dan Qadar yang ada dalam
pembahasan Kalam.
3.
Berusaha keluar dari ruang lingkup
pertarungan antara mu’tazilah Qadariyah, Jabbariyah dan Asy’ariyah. Dengan
mengemukakan sudut pandang yang berbeda.
Untuk mempermudah memahami konsep
Qadha dan Qadar dalam pandangan asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bisa di lihat
dalam bagan berikut.
|
Perbuatan Manusia
|
|
Mukhayyarun
Manusia bebas berbuat berdasarkan pilihanya
sendiri. Ia tidak dipaksa oleh Allah SWT.
|
|
Musayyarun
Manusia tidak bebas berbuat. Ia dipaksa oleh Allah
SWT
|
|
Sesuai aturan wujud (sunnatullah)
|
|
Tidak Sesuai aturan wujud
(sunnatullah)
|
|
Tidak dihisab
|
|
Qadha Allah missal; rejeki di tangan Allah, ajal di
tangan Allah SWT dan sebagainya
|
|
sesuai
syari’at Allah
|
|
Pahala
Surga
|
|
Tidak sesuai
syari’at Allah
|
|
Siksa Neraka
|
|
Dihisab
(bi hisaab)
|
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an
2. Al-Qur’an dan Terjemahan
3. Hadist
4. An-Nabhani, Taqiyuddin (1424 H /2003 M). As-Syakhshiyah Islamiyyah. Cet. VI:
Daar al-Ummah. Terj: Zakiyah Ahmad, Lc. (2007). Cet.1.Jakarta: HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) Press.
5. Nizhom al-Islam
6. Muhsin Rodhi, Muhammad. Metode dan Tsaqofah Hizbut Tahrir
dalam Mendirikan Khilafah Judul Asli, Hizb at-Tahrir, Tsaqofatuhu wa
Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah Islamiyyah, merupakan Tesis Master di
Fakultas Ushluddin, Jurusan Pemikiran Islam, yang telah di uji dii hadapan tim
penguji Universitas Islam Baghdad, Iraq 8
Shafar 1428 H/25 Februari 2007 M dengan Predikat Mumtaz (Summa Cumlaude)
7. Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, Pustaka
Firdaus: 2003, cet 1.h.6
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam (untuk UIN,STAIN, PATAIS),Pustaka Setia: Bandung,2010, cet V, hl. 49
(Lihat Juga: Abdu al-Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdadi, Farq
bayn al-Firaq, Al-Azhar , Mesir 1037, hl.75 )
8.Humam ‘abdurrahman, A.Said ‘Aqil. Penjelasan menyeluruh
Qadha’ Qadar; Telaah Terhadap Pemahaman Mu’tazilah. Jabbariyah, dan Ahlu
Sunnah. Penerbit; Al-azhar Press. 2014cet III.
9. Al-Milal Wa An-Nihal, Abu Fatah Mohammad bin al-Karim
al-Syahrastaniy
10. Abdurrahman, Hafidz (2015). Pengaruh Filsafat Dan Ilmu Kalam
terhadap Kemunduran dunia Islam. Cet.1. Bogor: Al-Azhar Freshzone
Publishing.
11. Najih Maimoen, Muhammad (1434
H/ 2013 M). Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA,
LDII Dan Ma’had Al-Zaytun. Cet.1. Jawa Tengah: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang.
12. Ilmu Kalam
13.Sejarah Kebudayaan Islam
14. Rusli, Muh. Khasanah Teologi Islam; Klasik dan Modern,
Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo 2015.
15. Modanggu, Thariq. Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, pen;
Qalam Nusantara, 2010. Cet 1. Jakarta.
[1] Muhammd Muhsin Rodhi Metode dan Tsaqofah. Hl 57
Lihat, Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah fi al-Fikri al-Islami al-Mu’asirah,
hl.14; selebaran dengan judul I’lan li Jami’I as-Syabab, Hizbut Tahrir, 11
Shafar 1423 H/ 13 April 2003 M.
[2] Ibid (hl58) lihat , Hizbut Tahrir al-Islami, hl 35.
Mengutip dari kitab al-Qabail al-Arabiyah wa salahiha fi biladiha Filasthin,
karya Musthofa Murad ad-Dibagh, hl.134.135,149.
[3] Ibid hl 59
[4] Ibid 58. As-Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin hasan bin
Muhammad an-Nabhani as-Syafi’I atau yang di juluki Abu Mahasin, Ulama lulusan
Universitas al-Azhar Mesir (1283-1289). Beliau seorang Penyair, Sastrawan, Sufi
sekaligus Qadhi wafat di tahun
1350 H.dengan meninggalkan karya intelektual di bidang Tashauf, sastra, Hadis,
sejarah dan Tafsir. Di Daar al-Kutub al-Mishriyah ditemukan sekitar 67 buah
kitab karyanya. Sebagian besar di tulis sewaktu di Beirut, sekitar 48 telah
diterbitkan di Beirut dan Kairo. (Lihat, AL-a’lam, Khoiruddin Zarkali, Dar
al-Ilmi li al-Malayin, Beirut, cet.xv,2002, juz VIII, hl 218; dan Mu’jam
al-Mu’allafin, Umar Ridho Kahalah, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi dan
Maktabah Mutsna, Beirut, tanpa Tahun, Juz XXXI, HL 275. Muh. Muhsin Rodhi (pen)
menkompromikan nasab Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa kedua orang tua beliau
masih termasuk sepupu.
[5] Ibid hl 60
[6] Ibid hl 60
[7] Ibid hl 60 (lihat Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah
fi al-Fikri al-Islami al-Mu’ashirah, hl.141-142; dan Hizbut Tahrir
al-Islami, hl.48,126,127
[8] Muhsin
Rodhi, Metode dan tsaqofah, hl. 63 ( lihat: foot not: pernyataan
as-Syaikh Abdul Aziz a;-Khayyath bahwa Syaikh Taqiyuddin bekerja sebagai tenaga
pengaajar di Departemen Pendidikan Palestina, bukan di kementrian Pendidikan
Palestina. Lihat, HIzb at-Tahrir al-Islami, hl.11
[9]
Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah, Hizbut tahrir, Daar
al-Ummah, Beirut cet ke 7 1423 H/ 2002
M. hl.199
[10]
An-Nizham al-Islam, dikeluarkan hizbut tahrir cet VI (Edisi mu’tamadah)1422.
H/2001 m..hl 46
[11] Moh.
Muhsin Rodhi, hl 65
[12] Ibid hl
62
[13] Ibud
hl. 63 .hizb at tshrir al-islami, hl 111,112
[14] Muhsin
rodhi 78
[15] Lihat as-Syakhshiyah
al-Islamiyah, juz 1h.29 dst, 134,142,227,362,376,389; as-Syakhshiyah
al-Islamiyah, juz II hl.103. dst.; as-Syakhshiyah al-Islamiyah juz
III, Taqiyuddin an-Nabhani, dikeluarkan hizbut Tahrir, dar al-Ummah, Beirut,
cet.III (Edisi Mu’tamadah), 1426 H/2005 M. hl.299,307,310; Nidzam al-Hukm fi
al-Islam, hl.116-123; Fikr al-Islami, Muhammad Ismail, Maktabah
al-Wai’e, 1377 H/1958 M, hl.28; ahkam as-Shalah, ali al-Raghib, Dar
an-Nahdhah al-Islamiyah, Beirut, Cet.1, 1412 H/1991 M, hl.79 dst.; Soal
Jawab tgl 8 Shafar 1391 H/ 4 April 1971 M.
[16] Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, Juz III, hl.66-67; Nidzam Hukm fi al-Islam, hl 74,88; Mafahim
Hizbut Tahrir, hl.7,8,36,46,46,71; Fikr al-Islami, hl.37; as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Fikran wa
Kifahan, hl.19-20; Taqiyuddin an-Nabhani,
Nidzhom al-Iqtishadi fi
al-Islam, dikelurakan HIzbut Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, Cet VI (Edisi
Mu’tamadah), 1425 H/2004 M, hl.54; Muqaddimah ad-Dustur, hl.46-47; dan Soal
Jawab , tgl 8 Jumadil Ula 1387 H/14 Agustus 1967 M.
[17]
( lihat footnot: Ihsan Abdul Mun’im Samarah,. Al-Mahfum al-Adalah
al-Ijtima’iyah fi al-Fikr al-islami al-mu’ashir, Mathba’ah ar-Risalah,
al-Quds Cet 1, 1407 H/1987M hl 150. Muh.Muhisn Rodhi hl 82
[18] Muh
Muhsin Rodhi. HL.84 (lihat foot not: Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah fi
al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, hl.149; atsar al-jama’at a-Islamiyah
al-Midani Khilala al-Qarn al-‘isyrin, hl.233; Hizb at-Tahirir al-Islami,
hl.111-113; wawancara dengan Ir. Hasan al-Hasan, perwakilan Hizbut Tahrir
Uni Emirat Arab, Koran Az-Zaman,edisi 1953 tanggal 28 oktober 2004;
Abdul Jabbar al-Kawazi, ketua kantor penerangan Hizbut Tahrir Irak, Baghdad,22
Rabi’ul awal 1326/ 1 Mei 2006 M; dan pengumuman Meninggalknya Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, dikeluarkan Hizbut Tahrir tanggal 2 Muharam 1398 H/12 Desember 1977
M.
[19] Jihad
secara etimologis (Lughawi ) adalah kerja keras, sedangkan dalam
terminology syara adalah berarti mengerahkan seluruh tenaga,harta dan nyawa
baik secara langusung maupun tidak, untuk berperang di jalan Allah. Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhsiyah
al-Islamiyah, Juz 1, Dar al-Ummah, 1994, Beirut, hl.47
[20]
Syakjsiyah hal-47
[21] Sayksi juz
1. Dar umah. 1994. Libanon, hl 49-50
[22] A.Said
‘aqil Humam ‘Abdurrahman.Penjelasan Menyeluruh tentang Qadla’Qadar, telaah
terhadap Pemahaman Mu’tazilah, Jabariyah, dan Ahlu Sunnah. Al-azhar
Press.Bogor: cet III, Sya’ban 1435 H-Juni 2014. Hl14
[23]
Said ‘Aqil Huma, Qadha Qadar hl.13 ( lihat foot not; Samih ‘Athir al-Zain, Thariq
al-Liman, 1983, dar al-kitab al-Libnaniy, Beirut, hl.283-284
[24] Pengaruh Filsafat hl.25
[25] Pengaruh Filsafat hl26 (lihat Muslim, Sahih, K.al-Imam,
no.9.)
[26] P.FILSAFAT hl 26 (lihat al-Tirmidzi, Sunan,k.al-Qadar,
no.2081.)
[27] Istilah Qadariyah sebenarnya adalah istilah umum, yang
berarti kumpulan orang-orang yang menjadikan masalah Qadar sebagai isu Aqidah.
Dengan demikian, berarti ia meliputi Mu’tazilah dan Jabbariyah. Akan tetapi,
istilah tersebut lebih di hususkan untuk menyebut Mu’tazilah. Lihat:
al-Baghdadi, al-Farq, hl.44 (lihat catatan kaki: Hafidz Abdurrahman, Pengaruh
Filsafat dan Ilmu kalam.hl.33
[28],Asy-Syahrasatani,
AL-Milal wa al-Nihal, terj; Asywadi Syukur PT.Bina Ilmu, Surabaya. Tanpa
Tahun, hl.37,38, 39
[29]
Muh.Rusli. Khasanah Teologi Islam
[30] Hafidz Abdurrhaman, pengaruh Filsafat, hl.31 (lihat:
Ibn Hajar, Tahdhib, juz X, hl.225-226)
[31] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (untuk UIN,STAIN,
PATAIS),Pustaka Setia: Bandung,2010, cet V, hl. 79 (lihat Luwis Ma’luf Al-Munjid fi Al-Lughah,
Daar al-Kitab Al-Farabi, cet X, Beirut, hl. 207)
[32]
Muh RUSLI, OP cit.hl40
[33]
Qs al-Kahfi 29
[34]
Muh Rusli, Khsasanh teoli islam, hl.38.
[35]
Thariq Modanggu, Perjumpaan Theologi dan Pendidikan,pen; Qalam
Nusantara, cet 1 2010.Jakrta hl 55
[36]
Asy-Syahrahstani, al-milal wa al-nihal, hl,71
[37]
Said ‘Aqil Humam, Qadgha Qadar hl. 26 (lihat al-Munjid fial-Lughah wa A’lam.hl
205
[38]
Qs;As-Shaffat ayat 96
[39]
As-syahrasani terjemahan. Hl 77
[40]
Said aqil humam. Qadah qadar. Hl 31
[41]
Qadha dan Qadar, hl 36 Samih ‘Athif al-Zain, Thariq al-liman, 1983. Dar
al-kitab al-libanany, Beirut, hal 289-290
[42] Muhammad Najih Maimoen, Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir,
Jama’ah Tabligh, Mta, Ldii Dan Ma’had Al-Zaytun, Perc. Al-Anwar Sarang
Rembang Cetakan Pertama : 16 Jumadal Ula 1434 H./ 28 Maret 2013 M. hl.12 (lihat: Imam
al Iji dalam kitab al Mawaqif fi Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam
kitab at-Ta’rifat.)
[43]
Bandingkan dengan abu al-Fattah Mohammad ibn al-Karim al-Syahrastani, al-Milal
wa nihal; isyfiraini, al-Farq bayn al-Firaq; al-Malathi as-Syafi’iy,
Maqalat Islamiyin; Taqiyuddin an-Nabhani asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz
1, bab, Qadha wa Qadar
[44]
Muh. Rusli, Khasanah theology islam, hl55 (lihat; Sayyed Hossein Nasar dan
William C.Chttik, Word Spiritualy; Manifestations. Terj. Tim Perenial
dengan judul, Islam Inetelektual; Teologi, Filsafat dan Makrifat.
Jakarta; perennial Press, 2001, hl. 27
[45] Nizhomu Islam , hl 31
[47] Asy-Syakhsiyah Islamiyyah Juz 1 hl 115
[48] Nnizhomul
Islam. Hl.32
[49] Nizhom, hl 33
[50] Hafidz Abd, hl 301.(lihat ibn al-Manzur, lisan
al-arab, juz XI, hl.57. dan 58)
[51] An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, hl.35
[52] Nizhom hl36
[53] [TQS. Ar-Rum: 23]
[56] Hafidz Abdurrahman. Pengaruh Filsafat dan ilm kalam,
hl 300
[57] QS AL-AHZAB (33): 38
[58] QS: Al-qomar [54]: 12
[59] Qs al-fuhshilat (41):10
[60] Qs; al-Muddatsir; 74: 18
[61] Al-qomar 54:49
[62] Muslim, Shahih (k.al-Iman), hadist, no.8 hl.21-22
[63]
Said aqil humam
[1] Muhammad Najih Maimoen, Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir,
Jama’ah Tabligh, Mta, Ldii Dan Ma’had Al-Zaytun, Perc. Al-Anwar Sarang
Rembang Cetakan Pertama : 16 Jumadal Ula 1434 H./ 28 Maret 2013 M. hl.12 (lihat: Imam
al Iji dalam kitab al Mawaqif fi Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam
kitab at Ta’rifat.)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar