Rabu, 20 Juli 2016

PROP 02 QADHA DAN QADAR DALAM PANDANGAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI



AQIDAH: KONSEP QADHA DAN QADAR MENURUT PEMIKIRAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI

PROPOSAL SKRIPSI

 







Oleh

     HUSAIN RAHIM
          14-30-12-017



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA

TAHUN AKADEMIK 2014/2015






A.   Latar Belakang Masalah

                  Pembahasan mengenai Aqidah sangatlah penting, sebab Aqidah adalah landasan dasar setiap manusia dalam memahami dan mengamalkan agama. Aqidah adalah landasan Islam, sekaligus yang menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan akitifitas dimuka bumi, sebagai Khalifah fi  al-ardh sekaligus sebagai Abdullah. Aqidah inilah yang menentukan jalan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Hakikat dan tujuan hidup serta kehidupan hanya bisa dilakukan dengan aqidah Islam.

                  Landasan konsep aqidah sebagai landasan epistimologi ke-Imanan diantaranya mengenai rukun Iman, pembahasan mengenai Qadha dan Qadar, sumber kebenaran dan sumber pengetahuan dan lain sebagainya sebenarnya tak pernah ada perdebatan mengenai hal ini pada zaman Rasulullah Sallallahu’alaihi Wasallam. Problem Teologis ini baru muncul setelah masa ke-Khilafahan Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum, adanya peristiwa al-Fitnah al-Kubra, Tahkim, hingga ‘Amul Jama’ah.  peristiwa ini memuculkan perpecahan dikalangan kaum muslimin secara politis. Namun ternyata perpecahan ini tak hanya sebatas perpecahan dalam mazhab politik saja namun merambat hinggga pada masalah Teologis dan Aqidah.

            Diantara firqah-firqah yang muncul pasca terjadinya al-Fitnah al-Kubra pada saat itu adalah diantaranya Khawarij dan Mu’atzilah, kedua firqah ini muncul sebagai mazhab Siyasi namun dikemudian hari melahirkan interpretasi aqidah yang berbeda-beda. Perbedaan ini semakin meruncing setelah wilayah kekuasaan kaum muslimin semakin luas pada zaman ke-Khilafahan, dan mulai berinteraksi dengan Filsafat. Sehingga konsep Aqidah ini menjadi berbeda akibat kontaminasi filsafat.

            Peristiwa selanjutnya yang menimpa kaum muslimin adalah Runtuhnya ke-Khilafahan Turki Utsmani di tangan Musthafa Kamal Pasha. Peristiwa kekalahan politik inilah yang membuat kaum muslimin  semakin terpecah belah baik dari segi persatuan kekuatan, Politik, Negara, hingga Aqidah. Dengan adanya perpecahan Teologis dan perdebatan yang tak pernah ada ujung pangkalnya di tengah-tengah kaun muslimin, sehingga berdampak pada kelemahan dan kemunduran taraf berfikir umat Islam, dan sampai saat ini belum seolah enggan untuk bangkit dari keterpurukan.
                     
               Kelompok ummat Islam yang memperdebatkan Masalah Qadha dan Qadar terdapat terdapat dua kubu yakni kelompok Mu’tazilah berada dalam sekte Qadariyah, berhadapan dengan kelompok Jabariyah, kelompok Asy’ariyah muncul sebagai Waisth (Penengah) dalam masalah ini malah terjebak dalam konsep Kasb al-Ikhitiyar. Meskipun Asy’ariyah berusaha menengahi perdebatan ini tetap saja lebih bercorak Jabariyah. Menurut Imam Abul Fadl Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghoffar al Iji dan Imam Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani membagi Jabariyah menjadi dua, yaitu Jabriyah mutawassithoh (moderat) seperti Asy’ariyah dan Jabariyah kholishoh (ekstrim) seperti Jahmiyah Jabariyah pertengahan.[1] Dengan demikian model pemikiran asy’ariyah mengenai Qadha dan Qadar menyisakan ruang perdebatan yang belum selesai.
            Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pemikir Islam hadir dengan gagasan yang berbeda dengan corak berfikir sebelumnya, dengan membawa konsep Qadha dan Qadar yang berbeda dengan konsep Mu’tazilah, Qadariyah, dan Jabariyah maupun Asy’ariyah.  Sehingga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani merumuskan konsep yang berusaha keluar dari ruang perdebatan antara Mu’tazilah (diwaikili sekte Qadariyah), dan dipihak lain ada  Jabariyah maupun Asy-Ariyah  tentang polemic Qadha danl  Qadar. inilah menurut hemat penulis sangat menarik untuk dikaji adalah terkait dengan penggunaan akal secara proporsional.
             Atas dasar permasalahan tersebut saya mengangkat masalah ini menjadi judul Proposal yakni:  Aqidah: Konsep Qadha Dan Qadar Menurut Pemikiran Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani


B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah di atas maka dalam penelitian ini dapat di kemukakan rumusan masalah yakni:

1.      Bagaimanakah konsep Qadha dan Qadar menurut pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.?

C.   Pengertian Judul dan Definisi Operasional

1.                  Pengertian Judul
        Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami judul dan hasil penelitian   ini, berikut ini akan di jelaskan beberapa kata kunci dalam judul sebagai berikut:

a.Aqidah;    secara  berasal dari kata عقد‘Aqoda bermakna al-Habl, al-Bai’, al-ahd ( tali, jual beli, dan perjanjian)[2] membuat simpul, mengikat, transaksi, memperkuat, dan apa-apa yang diyakini dan menentramkan hati.
b.Konsep;
b.Qadha ;

c.Qadar;    





2.Definisi Operasional

             Secara Operasional, penelitian mengenai Aqidah konsep Qadha dan Qadar ini adalah berupaya untuk memahami dengan sungguh-sungguh bagaimana pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengenai konsep Qadha dan Qadar.



D.   Tujuan dan Kegunaanya    

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan konsep Aqidah mengenai Qadha dan Qadar ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan  bisa mengetahui bagimana pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengenai Qadha dan Qadar.
Tulisan ini diharapkan bisa berguna untuk pemikir dan pengkaji pemikiran ke-Islaman khususnya mengenai masalah-masalah Aqidah, Qadha dan Qadar. Selain itu tulisan ini setidaknya bisa memberikan jalan keluar atas kemelut yang tak berkesudahan mengenai Qadha dan Qadar yang menyebabkan kemunduran dan kelemahan Islam, sehingga berdampak pada kemajuan pola fikir di tengah-tengah kaum Muslimin agar bisa mencapai kemajuan dan kebangkitan sebagaimana yang di cita-citakan, demi terwujudnya tatanan kehidupan yang di ridhai Allah Subhananhu Wata’ala.


E.   Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan  Khazanah pemikiran ke-Islaman, khususnya dalam aspek aqidah. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.                     Bagi Perguruan tinggi

                   Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bai perguruan tinggi, khsusnya bagi akademisi yang ingin mendalami ataupun mengembangkan pemikiran ke-Islaman terutama dalam bidang Aqidah.

2.                     Bagi Peneliti lebih lanjut

              Hasil penelitian ini diharapkan mampu bisa memberikan gambaran bagi pembaca tentang studi komparasi aqidah. Penelitian ini juga dapat berguna untuk dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.



F.    Metodologi Penelitian
       Setiap penelitian pasti menggunakan metode , agar memudahkan sebuah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, untuk memfokuskan kajian dalam penelitian tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) oleh karena itu, pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi.

                Ada dua sumber data yang digunakan dalam tulisan ini Primer dan Sekunder. Yang di jadikan data Primer dari penelitian ini adalah Dua buah Kitab karangan Syaikh Taqiyuddin an-Nahani yakni Kitab Nizhomul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) Bab Qadha dan Qadar, dan kitab yang kedua adalah As-Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam) Jilid I. sedangkan data Sekundernya adalah berbagai sumber yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti.dan juga tulisan-tulisan yang relevan dengan pokok permasalahan  .

G.  Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif: yaitu Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep buku . Di sini peneliti menulis dengan berurutan tentang Konsep Qadha dan Qadar yang terkandung di dalam buku tersebut.

H.  Pengumpulan Data-data.     
Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.


Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan content analisys (analisis isi). Kemudian data tersebut di sajikan secara deskripsiptif.
Analisis Data. Metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai adalah dengan menggunakan analisa data kwalitatif, dalam operasionalnya data yang diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif . Deduktif merupakan penalaran yang berangkat dari data yang umum ke data yang khusus. Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari gagasan tentang konsep Qadha dan Qadar, Sementara induktif adalah penalaran dari data yang khusus dan memiliki kesamaan sehingga dapat di generalisirkan menjadi kesimpulan umum. Untuk memperoleh suatu hasil penelitian yang valid secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Demikian pula dengan penelitian ini.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain ;
Deskriptif Yaitu metode dengan memaparkan isi naskah. Pemaparan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi detail-detail dari suatu peristiwa atau pemikiran tokoh (deduktif) . Juga dipakai corak induktif yakni dengan menganalisis keterkaitan semua bagian dan semua konsep pokok satu persatu. Disini akan diuraikan secara teratur aspek Qadh adan Qodar dalam pandangan Syaikh Taqiyddin an-Nabhani.
Interpretasi. Metode interprestasi yaitu metode untuk menyelami data yang terkumpul untuk kemudian menangkap arti dan nuansa yang dimaksud tokoh secara khusus. Di sini akan diselami arti, makna dan konsep Qadha dan Qadar dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Kesinambungan Historis. Metode ini dipakai untuk melihat beberapa faktor yang mengkonstruksi pemikiran sang tokoh yakni Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.








D. Pembahasan
1.      Biografi As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
            a) Nasab dan Kelahiran
Nama lengkapnya adalah  Abu Ibrahim Taqiyuddin Muhammad bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani.[1]  Lahir pada tahun 1909 M atau 1910 M di desa Ijzim. Sebuah desa yang ada di sebelah selatan kota Haifa, Wilayah Kiral Mahral. Berasal dari keluarga yang terpandang dalam ilmu pengetahuan dan agama. Nasab beliau berasal dari keluarga besar An-Nabhani dari Kabilah al-Hanajirah di Bi’ras Sab’a. Bani Nabhan merupakan orang kepercayaan Bani Samak dari keturunan Lakhm yang tersebar di wilayah Palestina. Sedangkan Lakhm adalah Malik bin Adiy. Bangsa dan suku yang banyak. Pada akhir abad ke 2 M, kelompok bani Lakhm tiba di Palestina bagian selatan. Bani Lakhm memiliki kebanggaan terbaik di antaranya yang terkenal adalah Sahabat Nabi Tamim ad-Dariy.[2]
Kepribadian as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkembang ditengah  keluarga yang taat beragama dan dibesarkan dengan tradisi keilmuan yang sangat baik, tak heran di usia 13 tahun telah hafal al-Qur’an[3]. Ayahnya adalah Syaikh yang Mutafaqqih fiddin bernama as-Syaikh Ibrahim an-Nabhani, berprofesi sebagai Tenaga pengajar ilmu Syari’ah di Kementrian Pendidikan Palestina. Kakek beliau dari pihak Ibu bernama as-Syaikh Yusuf an-Nabhani, ulama yang membibing Ibunda beliau dan sekaligus mendidik Cucunya  Syaikh Taqiyyudin. Syaikh Yusuf adalah Ulama yang berpengaruh  yang hidup di zaman Daulah Khilafah Ustmaniyah.[4] Kakek beliaulah yang paling banyak berpengaruh terhadap intelektual Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

b) Pendidikan
Pendidikan dasar serta Tsaqofah-Tsaqofah Islam termasuk dasar-dasar ilmu Syari’ah  diperoleh dari ayah dan kekeknya, Pendidikan dasar Formal beliau peroleh dari sekolah negeri an-Nidzamiyah di daerah Ijzim, lalu melanjutkan Studi menengah di Akka, setelah itu melanjutkan Studi menengahnya di al-Azhar pada tahun 1928 dan lulus di tahun yang sama dengan Ijazah serta prdikat yang sangat memusakan.[5]
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, as-Syaikh Taqiyuddin melanjutan studi di Fakultas Darul ulum pada saat itu masih filial al-Azhar. Selain itu beliau banyak mengikuti halaqah-halaqah ekstrakurikuler serta forum ilmiyah di al-Azhar di antaranya pengajian as-Syaikh Muhammad Hidhir Husain. halqah-halqah yang beliau ikuti terdiri dari dari berbagai jenis ilmu pengetahuan terutama mengenai bahasa dan ilmu  Syari’ah, di antaranya fiqih, ushul Fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam).[6] Kuliyahnya di Fakultas Darul Ulum ini selesai pada tahun 1932 M sekaligus berhasil menyelesaikan kuliyahnya di Azhar berdasarkan model Tradisional. Keilmuan beliau adalah hasil integrasi antara Metode Darul Ulum dan al-Azhar. Beliau adalah orang yang  cerdas, tekun belajar sehingga menarik perhatian para dosen-dosen-nya akibat kecermatan dalam berfikir, kekuatan berpendapat, dan argument-argumen yang dilontarkanya dalam forum-forum ilmiyah di Kairo dan di tempat-tempat lain.
            As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memperoleh banyak ijazah,  yakni ijazah dengan predikat sangat memuaskan dari sekolah negeri tingat menengah (ast-tsanawiyah) al-Azhar, Diploma Jurusan Bahasa dan Sasatra Arab dari Fakultas Darul Ulum Kairo, dan Diploma dari al-Ma’had al-‘Ali al-Qadha’ as-Syar’iy filial al-Azhar Jurusan Peradilan. Tahun 1932 lulus di al-Azhar dengan gelar as-Syahadah al-‘Alamiyah (Ijazasah setingkat Doktor) pada jurusan Syari’ah.[7]
                        c) Pekerjaan
Al-Ustadz (Profesor) Ihsan Samarah menceritakan mengenai Pekerjaan as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahuta’alai terbatas pada pendidikan dan peradilan (Qadha’). Setelah menyelesaikan studinya beliau kembali ke Palestina dan bekerja di kementrian Pendidikan Palestina[8], sebagai tenaga  pengajar di sekolah menengah di Haifa, selain itu  mengajar disekolah al-Islamiyah juga di Haifa. Beliau berpindah-pindah lebuh dari satu kota dan sekolah sejak 1932 M hingga tahun 1938 M. kemudian beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah. Alasan beliau berpindah ke Peradilan (qadha’) adalah bahwa dalam pendidikan telah tekontaminasi pemikiran barat dan dibidang Syari’ah tidak begitu Nampak. Beliau berkata “.. Adapun kaum terpelajar, maka sebelum adanya pendudukan, para penjajah, di sekolah-sekolah misionarisnya, dan diseluruh sekolah pasca pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum pendidikan dan Tsaqofah  berdasarkan falsafah, peradaban dan pandangan hidup mereka yang khas. Kemudian kepribadian ala barat di jadikan pijakan yang akan mencabut tsaqofah (dari umat Islam). Sejarah dan kebangkitan barat juga dijadikan referensi utama. Yang dengan semuanya itu mereka mencuci otak kita…”[9]
            Inilah asalan as-Syaikh Taqiyuddin meninggalkan pekerjaanya. Adapaun mahakamah Syari’ah menurut beliau masih menerapkan hukum-hukum syara, hal ini bisa dilihat dalam pernyataan beliau,”… Adapun system sosial yang mengatur hubungan pria dan wanita, serta apa saja yang timbul dari adanya hubunga ini, yakni masalah perdata maka Mahkamah Syari’ah masih menerapkan Syari’at Islam hingga sekarang, meski adanya penjajahan dan pemerintahan kufur. Secara umum hingga sekarang belum pernah diterapkan yang lain selain Syari’at Islam…”[10]. Setelah itu diangkat sebagai sektertaris di Mahkamah Syari’ah Beisan, lalu dipindahkan ke Thabariya. Sempat mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islami al-a’la (Dewan Tertinggi Islam) akhirnya beliau pindah ke Mahkamah Syari’ah di Haifa dengan jabatan sebagai kepala sekretaris (Basy Katib).
Tahun 1940 naik jabatan menjadi Musyawir  yakni Asisten Qadhi . hingga 1945, hingga beliau dipindahkan ke Mahkamah Syari’ah di Ramallah dan belau menetap disana hingga 1948, setelah itu beliau pergi meninggalkan Ramallah menuju  Syam akibat Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi[11]
d) Karakter dan Kepribadian
al-Ustadz (Profesor) Zahir Kahalah- Direktur Administrasi Fakultas al-Ilmiyah al-Islamiyah, dimana beliau menemani as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selama semasa kuliyah di al-Azhar menuturkan bahwa beliau adalah orang yang jujur, mulia, bersih, akhlak, ikhlas, semangat, bergelora dan senisitif terhadap persoalan ummat islam sebagai Dampak ditanamakannya Entitas Israel didalam jantung mereka. Berkpribadian kuat, bicaranya menyentuh dan argumentasinya meyakinankan. Beliau sangat tidak suka terhadap sikap apatis terhadap prolematika ummat dan hanya  sibuk dengan kepentingan sendiri dan tidak bejuang untuk kepentingan umat. Beliau mengkritik ulama-ulama Syam yang hanya tenggelam dalam sentiment keagamaan dan tidak berkiprah dalam ranah  aktifitas politik Islam.[12]
sebagaiaman yang di ungkapkan oleh salah seorang sahabat belaiu di Libanon. Beliau mampu menjaga pandangan mata dan lisanya. Pribadi yang bertaqwa dan mulia sebgaimana namanya[13] Terhadap sikap as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terhadap harokah dakwah yang lain khususnya terhadap para pengemban Dakwah Islam, meski berbeda dalam Ijtihad, beliau tak pernah mencaci, mencela dan menghina mereka.
            e) Aqidah dan Mazhab
            Mazhab as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah Syafi’i[14]  hal ini bisa disadarkan pada, bahawa sejak kecil beliau telah didik oleh kakeknya, as-Syaikh Yusuf an-Nabhani yang bermazhab Syafi’i. Namun beliau sangat berhati-hati terhadap isu sektarianisme, menurut beliau bahwa Mazhab Ja’fariy (salah satu mazhab Syi’ah) merupakan salah satu dari sekian banyak mazhab Islam., sebab Ushul yang menjadi landasanya baik dalam hal aqidah dan hukum paling dekat dengan ahlusunnah. Dalam kitab beliau As-Syakhshiyah al-Islamiyah jilid pertama, beliau rahimahullah menjelaskan bahawa Rukun Iman itu ada enam; Iman kepada Allah, iman kepada para Malaiktanya, Rasul, hari kiamat, dan Iman kepada Qadha dan Qadar, baik buruknya dari Allah subhanahuwata’ala. Hal ini bisa ditemukan saat membahas topik mengenai al-‘Ishmah (kemaksuman Nabi dan Rasul), Wahyu dan lainya.  [15]
Adapun yang menjadi salah satu keistimewaan metode beliau dalam menggali hukum dan ber Ijtihad adalah menjadikan realitas sebagai Objek berfikir, bukan sumber dalam menetapakan hukum atau mendundukan realitas untuk dipecahkan dengan hukum syara dan membentuk realitas sejalan dengan hukum dengan Islam. Beliau tidak menjadikan hukum Syara tunduk mengikuti realitas, sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Kontemporer, yang sering menarik ulur nash-nash untuk menyesuaikan dengan realitas, serta menyenagkan nafsu penguasa. As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bukan tergolong diantara orang yang melihat dan merasa bahwa hanya pendapatnya saja yang benar sementara penapat orang lain bathil (salah), apalagi sampai men tahdzir atau memvonis sesat-menyesatkan, beliau bukanlah tipe yang suka membid’ahkan. Tetapi beliau melihat pendapatnya benar namun tidak menutup kemungkinan salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah, namun tidak menutup kemungkinan benar.[16] Inilah yang menjadikan beliau banyak mendengarkan, mengkaji dan meneliti pendapat-pendapat lainya, meski beliau tetap mempercayai pendapatnya.
            F) karya-karya intekektual
            As-Taqiyuddin an-Nabhani banyak meninggalkan karya intelektual yang membahas banyak persoalan, baik Hukum Syara, Politik, Ekonomi dan Sosial. Dalam bidang pemikiran sejumlah 30 buah.tidak termasuk nota-nota analisis Politik. Cirri khas tulisan beliau berbentuk teorisasi (tanzhiriyah)  sistematisasi (tanzhimiyah), atau buku-buku yang dedikasikan untuk mengembalikan kehidupan Islam (isti’naf al-Hayah al-Islamiyah). [17]
            Karya yang paling menonjol adalah pemikiran, yakni (1) Nidzom al-Islam ,(2) at-Takatul hizby, (3) Mafahim Hizb at-Tahrir, (4) an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, (5) an-Nidzom al-Ijtim’aiy fi al-islam, (6) Nidzhom al-Hukm fi al-Islam, (7) ad-Dustur, (8) Muqaddimah ad-Dustur,(9) ad-Daulah al-Islamiyah, (10) asy-Syakhshiyah al-Islamiyah tigal Jilid, (11) Mafahim Siyasah li Hizb at-Tahrir,(12) Nadzorat Siyasiyah,(13) Nida’ Har,(14) al-Khilafah, (15) at-Tafkir, (16) al-Kurrasah (17) Sur’ah al-Ba’dihah, (18) Nuqtah al-Intilaq, (19) Dukhul Mujtama’, (20) Inqadz al-Filistin,(21) Risalah al-Arab, (22) Tasllahu Mishr, (23) al-Ittifaqiyat ats-Tsuna’iyah Mishriyah as-Suriyah wa al-Yamaniyah, (24) Halla Qadhiyah Filasthin ala  ath-Thariqah al-Amirikiyah wa al-Injilziyah, (25) Nadzoriyah al-Faragh as-Siyasiy haula iznahawar, (26) as-Siyasah al-Iqtishodi al-Mustla, (27) Naqdhu al-Istirakiyan al-Markisiyah,  (28) Kaifa Khudimat al-Khilafah, (29) Nidzom al-Uqubat,   (30)ahkam as-Shalah, (31) ahkam al-Bayyinat,(32) al-Fikr al-Ismaiy, (33) Naqh al-Qanun al-Madaniy.  Disamping itu masih ada ribuan selebaran yang berbentuk pemikiran,Politik, dan Ekonomi.
Yang paling menonjol buku mengenai pemikiran yakni al-Fikr al-Ismaiy (Pemikiran Islam), Naqdhu al-Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritikan
 atas sosilis-Marksisme),
at-Tafkr (membangun cara berfikir), Su’ratul ba’dihah (membangun kecepatan berfikir). Ciri khas buku-buku pemikiran yang ditulis adalah metodologinya yang menjadikan Islam sebagai konsepsi Ideologis yang digali dari dalil-dalil Syara al-Qur’an dan Sunnah.
           
            g) Wafat
            As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani enggan hidup sebagai penulis yang karya-karyanya hanya untuk melengkapi koleksi perpustakaan, pengarang yang karyanya hanya untuk dipelajari, peneliti yang hanya sebatas menemukan kebenaran, berkarir dibidang politik, atau sebagai pengajar politik. Tapi beliau            ingin hidup sebagai peneliti dan penulis untuk menyadarkan dan membangkitkan ummat berdasarkan Islam. Memerangi serangan pemikiran dan peradaban yang telah merasuk ke tengah para pelajar dalam waktu yang lama. Berusaha keras membebaskan ummat dari penjajahan pemikiran, frustasi dan serangan budaya. Selanjutnya, mengurusi urusan ummat dengan Islam, setelah ummat kembali dan percaya dengan Islam dan solusinya.
            Terjadi perbedaan pendapat seputar wafatnya as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Sebagaian peneliti mengatakan bahwa beliau wafat  pada tanggal 25 Rajab 1397 H/ 20 Juni 1977 M. ini masih perlu di klarifikasi sebab tanggal 25 Rajab 1397 H tidak bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977, tetapi tanggal  30 Juni. Sedang Koran ad-Dustur menyebutkan, bahwa as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada hari kamis 19 Muharram 1398/29 Desember 1977 M. mungkin saja tanggal ini bukan tanggal wafatnya, melainkan tanggal dipublikasikannya pengumuman hari wafat beliau di koran. Sebab Hizbut Tahrir mengumumkan hari wafat beliau dalam Bayaan (penjelasan)-nya.  Bahwa as-Syiakh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada tanggal 1 Muharram 1398 H atau tanggal 11 Desember 1977 M.inilah sumber yang bisa dijadikan pegangan.[18]
            Seorang anggota dewan palestina, Muhammad Dawud Audah,menceritakan bahwa asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah orang yang fakir dan beliau wafat dalam keadaan fakir.tinggal dilantai lima sebuah apartemen, dengan rendah hati menaiki apartemennya dengan jalan kaki, sebab belum ada lift. Pada awal decade tujuh puluhan beliau pergi ke Irak dan ditahan tak lama setelah kampanye besar-besaran penangkapan aktifis Hizbut Tahirir.namun penguasa tak mengetahui bahwa beliau adaah Asy-Taqiyuddin an-Nabhani pemimpin Hizbut Tahrir.beliau disiksa dengan siksaan yang keras hingga beliau tidak mampu berdiri lagi karena banyakanya siskasaan. Bahkan beliau merupakan tahanan terakhir di antara tahanan hizbut Tahrir yang mereka bantu untuk berdiri ketika dikembalikan kedalam penjara. Siksaan itu terus berlangsung hingga beliau mengalami lupmuh separoh badanya (hemiplegia).
            Setelah itu belai dibebasakan dan pergi ke Libanon, disana belau mengalami kelumpuhan pada bagian otak, tak lama kemudian belaiu dibawa kerumah sakit dengan nama samara. Disana asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahillahuta’ala wafat. Beliau dikebumikan di pemakaman as-Syuhada di Hirsy, Beirut di bawah pengawasan yang sangat ketat, dan dihadiri oleh hanya segelintir orang dari anggota keluarganya.
2.       Latar belakang Historis timbulnya Polemik Qadha dan Qadar

Kaum muslimin dalam rangka untuk mengemban Dakwah Islam ke seluruh dunia, menghapus kekufuran serta menangkis segala keyakinan bathil sebagai wujud dan tanggung jawab, maka telah mendorong dilaksanakanya penaklukan-penaklukan (Futuhat). Metode yang unik dalam mengemban ideologinya adalah dengan dakwah dan Jihad .[19] dakwah berlangsung secara damai yakni dengan diskusi-diskusi dengan argumentasi yang lebih bijaksana.
Aktifitas Dakwah dan Jihad adalah kewajiban yang paling mendasar. Sehingga, pasukan yang ikut dalam penaklukan di suatu negeri tak hanya sekedar menaklukan wilayah itu, akan tetapi berdakwah ditengah-tengah masyarakat. Mereka memahamkan ajaran-ajaran islam secara damai dalam rangka mengubah keyakinan-keyakinan bathil mereka. Ini bisa dipahami bahwa penaklukan adalah upaya untuk menghilangkan penghalang dakwah sehingga kaum muslimin mudah dalam menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Aktifiitas dakwah yang dilakukan bersifat Fikriyyah, adu pemikiran dalam argument dan hujjah serta bukti atau dalil saat berdiskusi.[20] Tatkala tahapan interaksi antara kaum muslimin dan non muslim ini terjadi, maka ada hal baru yang belum pernah dikenal sebelumnya yakni cara berfikir secara Filsafat terutama dalam membahas persoalan Aqidah. Sehingga inilah yang mendorong kaum muslimin termotifasi untuk belajar Filsafat Yunani dalam berdebat. Sayangnya mereka malah terjebak dan terpengaruh cara berfikir filsafat Yunani[21]. Aliran pemikiran yunani berkembang pada saat itu adalah Epicurisme dan Riwaqqisme.[22] Duat kutub Filsafat Yunani yang membahas tentang Perbuatan manusia.
Epicurisme adalah aliran filsafat yang didirikan oleh filosof yunani bernama Epicurus (341-270 SM). Aliran ini memperkenalkan pemahaman bahwa perbuatan manusia itu bebas (Free will). Kebalikan dari Epicurisme adalah aliran riwaqqisme, aliran ini didirikan oleh Zenon (sekitar 264 SM). Aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan terletak pada keutamaan, dan manusia tidak mengalami kebahagiaan kerana sesuatu yang didapatakanya. Dan tidak mengalami kesedihan saat ditimpa Sesutu, sebab manusia adalah bagian dari entitas jagad raya, semua yang ada dan yang terjadi sudah ditentukan berdasarkan ketetapan yang telah diatur sejak zaman azali, atas dasar itu, manusia dipaksa dan tidak bisa keluar dari ketetapan yang telah di tetapkan kepadanya.[23] Petarungan kedua konsep inilah yang mempengaruhi pola pikir kaum Muslim apakah dipaksa atau bebas, kaum Muslimin pecah dan terjebak pada dua kutub antara “keterpaksaan dam memilih”.
Akar historis lainya mengenai Qadar bisa ditelusuri sejak zaman Tabi’ut Tabi’in. sejak masa Setelah generasi Sahabat berlalu, maka berganti dengan generasi berikutnya yakni periode Tabi’in, mereka adalah generasi ketiga sekaligus menjadi murid para sahabat. Pada periode ini, Embrio  mengenai Qadar sudah mulai Nampak, terutama dizaman pemerintahan Umayyah, isu yang berkembang adalah: La Qaar  (tidak ada Takdir), hal ini sebagaimana yang dilaporkan oleh Muslim  bahawa orang yang pertama kali melontarkan isu ini adalah Ma’bad al-Juhani (w.80 H/701 M), Isu ini muncul pada tahun 70 H/691 M. di daerah Bashrah. [24] penduduk bashrah yang mengetahui isu ini di mendatangi Abdullah bin Umar (w.73 H/694 M) Madinah[25]. Informasi yang lain berasal dari al-Tirmidzi, sebagaimana seorang yang bernama ‘Abd al-Wahid bin Sulaym datang dari Kufah kepada Ibn Abi Rabbah di Mekkah untuk menanyakan hal yang sama[26]
            Faktor lain yang cukup andil dalam sejarah munculnya pembahasan Qadha dan Qadar sebagai bagian dari ilmu Kalam, adalah faktor internal kaum Muslimin. Berawal dari Fitnah al-Kubra, setelah terbunuhnya Ustman bin affan melahirkan konflik Politis hingga merembet ke persoalan Teologis. Peristiwa Tahkim dan munculnya Kelompok Syi’ah dan Khawarij menjadi salah satu pemicu lahirnya perdebatan dan perpecahan aliran-aliran Kalam, khususnya dalam masalah Qadha dan Qadar.





3.      Kelompok yang bertikai mengenai qadha dan qadar
a)      Kelompok Mu’tazilah/ Qadariyah[27]
Menurut Asy-Syahrastani[28]bahwa Golongan Mu’tazilah juga dinamakan Qadariyyah yang bermakna dipakai untuk orang yang mengakui Qadar. Akan tetapi kata penamaan Qadariyah lebih identik dengan kelompok yang bertikai dalam masalah Takdir dan perbuatan Manusia. Menurut Dr.Muh.Rusli[29] dalam bukunya Khasanah Teologi Islam, kelompok Qadariyah yang dinisbatkan kepada pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimisyqi. Sementara Mu’tazilah dikenal dengan sebagai aliran yang dibangun oleh Washl bin Atha, tokoh yang dikenal sebagai orang yang mendukung gagasan Ma’bad al-Juhani.
Washil bin Atha adalah Tokoh Mu’tazilah yang mendukung serta mengembangkan konsep Qadar yang dibawa oleh Ma’bad al-Juhani, sebagaimana yang dilaporkan oleh Ibn Hajar bahwa Ma’bad pernah ke Madinah dan merusak pemikiran orang-orang Madinah mengenai ide La Qadar-nya[30] sehingga  hal ini sangat peluang bagi Washil mendapatkan pengaruh langsung mengenai ide Qadar dari Ma’mad al-Juhani.
Kata Qadar dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah, mereka juga berpendapat bahwa manusia berkuasa atas perbuatanya sendiri, entah perbuatan itu baik atau buruk, untuk itulah manusia berhak mendapatkan balasan atas perbuatan baiknya atau keburukanya. Dan Allah wajib untuk membalas kebaikan itu dengan pahala. Atau kejahatan manusia dengan siksa. Semantara kafir dan maksiat bukan dari Allah, jika dari Allah berarti dia telah zalim.
    Sebagaimana dikutip oleh Abdul Rozak dan Rosihon Anwar dari kitab Luwis Ma’aluf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Mu’tazilah secara bahasa berasal dari kata I’tzala yang berarti “terpisah” atau “memisahkan diri, juga bisa  diartikan menjauh atau menjauhkan.Kemunculan kelompok ini juga akibat konstalasi politik kaum muslimin sehingga mereka mengabil posisi netral dari Khawarij dan Murji’ah. Sejarah kemunculanya juga berawal dari majelis Imam Hasan al-Bashri yakni salah seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha dalam perdebatan mengenai pelaku dosa besar apakah kafir atau mu’min, Washil mengemukakan pendapat lain yang berbeda dari gurunya sehingga ia di usir dari majelis itu, sehingga pengikut konsep Washil bin Atha dikenal dengan istilah Mu’tazilah, artinya memisahakan diri dari kajian gurunya.[31]   Keterkaitan antara Washil bint atha dan Mu’tazilah dengan masalah Takdir dan perbuatan manusia adalah salah satu konsepnya yang mengatakan bahwa manusia bebas dengan perbuatanya.[32] Manusia yang menciptakan perbuatanya dan bebas memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Keadilan Allah patut untuk dipertanyakan manakala perbuatan manusia telah ditentukan.sehingga manusai dihukum akibat melakuakan perbuatan yang tidak disukai Allah, sementara perbuatan dari Allah.
Ajaran Qadariyah adalah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatanya. Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia tunduk dan dipaksa pada Qadar Allah. Atau dalam istikah lain free will .
Ayat yang dijadikan landasan adalah QS Ar Rad (13):33
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”.
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
“29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”[33].
Cirri-ciri pemikiranya adalah
1.      kedudukan akal yang tinggi
2.       kebebasan  manusia dalam kemauan dan perbuatanya
3.       kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Hadist yang sedikit Jumlahnya.
4.       Percaya akan adanya sunnatullah dan hukum kausalitas\
5.       Mengambil metaforis dari teks wahyu
6.       Dinamis dalam sikap dan berfikir.[34]
Pandangan Qadariyah di ilustrasikan seperti Tuhan sebagai “pembuat Jam”[35]. Memang Tuhan yang merancang dan menciptakan jam, tapi setelah itu tuhan tak lagi berkuasa dan hanya ditempat lain sambil melihat gerak jarum jam yang diciptakanya, tanpa ada lagi kesempatan untuk menginterpensi aktifitas jam itu.
      Jika dilihat kelompok Qadariyah dalam hal perbuatan manusia sangat dekat dekat dengan konsep Filsafat Epicurisme atau Free Will. Atau di era modern ini sejalan dengan konsep Deisme di barat. Dimana perbuatan manusia adalah bebas tanpa kehendak Tuhan.
b). Kelompok Jabbariyah
 Istilah Jabar dapat diartikan Menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. aliran  ini didirikan oleh Jaham bin Shafwan at-Tirmidzi (124 H/745 M)[36]. Ia berasal dari Khurasan sebagai seoran Mawla ,lalu menetap di Kufah. Ia adalah orator ulung dan fasih dan dibunuh pada tahun 131 H di masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah[37]
Pemahaman Jabariyah adalah sebagai anti thesis dari paham Qadariyah maupun Mu’tazilah. Yakni meyakini bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas perbuatanya, sebab semua perbuatan adalah berasal dari Allah subahanuwata’ala.
Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikitpun, dan tidak bisa dikatakan memiliki kemampaun (istitha’ah). Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia tetapi pada hakikatnya tidak lahir dari manusia, sebab manusia tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki keinginan dan tidak ada pilihan baginya untuk menolak.
Ayat-ayat yang menjadi sandaran adalah
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ 
“96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".[38]


Cirri khas pemikiran Jabariyah dimisalkan seperti Tuhan yang menciptakan Robot, yang mahu atau tidak, harus tunduk dan patuh terhadap desain program yang telah ditetapkan.dan perbuatan manusia itu dipksa oleh Tuhan. Ini sangat mirip dengan konsep Filsafat Yunani Riwaqqisme, bahwa perbauatan manusia senantiasa dalam keterpaksaan (Determinis).
c). Kelompok al-Asy’Ariyah
Kelompok Asy’ariyah didirikan oleh al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa al-asy’ari (Abu hasan wafat 234 H/936 M). asy-Syahrahstani menamakan kelompok ini dengan sebutan ­Ash-Shifatiyah yakni karakteristik pemahaman mirip dengan Abu Musa al-asy’ari saat berdebat dengan Amr bin al-Ash dalam peristiwa Tahkim.[39].al-asy’ari hidup pada masa akhir pemerintahan Khalifah al-Ma’mum dan awal pemerintahan al-Mutawakkil dari Daulah Abbasiyah. Pada maa al-Mutawakkil Mazhab Resmi Mu’tazilah dihapus dari mazahab Negara.[40]
Kemunculan kelompok al-Asy’ari yang menamakan diri sebagai Ahlu Sunnah adalah sebagai reaksi atas kelompok Qadariyah dan Jabbariya. Awalnya al-asy’ari adalah penganut Mu’tazilah di bawah pengaruh gurunya al-Juba’iy. Akan tetapi dalam beberapa perdebatan al-asy’ari tidak mendapat kepuasaan sehingga akhirnya memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah.
Menurut al-asy’ari bahwa kehendak tuhan adalah mutlak, dia mutlak berkehendak dan berbuat. Perbuatan manusia dari Allah tapi manusia punya konsep Kasb AL-Ikhtiyar. Akan tetapi pandangan ini mirip dengan pandangan Jabbariyah[41] Meskipun Asy’ariyah berusaha menengahi perdebatan ini tetap saja lebih bercorak Jabariyah. Menurut Imam Abul Fadl Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghoffar al Iji dan Imam Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani membagi Jabariyah menjadi dua, yaitu Jabriyah mutawassithoh (moderat) seperti Asy’ariyah dan Jabariyah kholishoh (ekstrim) seperti Jahmiyah Jabariyah pertengahan.[42] Dengan demikian model pemikiran asy’ariyah mengenai Qadha dan Qadar menyisakan ruang perdebatan yang belum selesai.
Konsep Kasb al-Ikhtiyari  dapat dijelaskan sebaai berikut;
Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT secara mutlak. Manusia tidak memiliki kekuasaan dan andil untuk menciptakan perbuatanya. Manusia hanya memiliki andil dalam pelaksanaan perbuatan tersebut (kasb a-Ikhtiyari). Manusia akan disiksa dan diberi pahala berdasarkan kasb al-Ikhtiyari tersebut. Yang disebut kasb al-Ikhiyari adalah kehendak (iradah) dan kemampuan (istitha’ah) manusia dalam melaksanakan perbuatan. Allah menciptakan perbuatan manusia ketika manusia berkehendak dan memiliki kemampuan untuk melaksankan perbuatan tersebu. Tetapi perbuatan itu tercipta bukan karena kehendak (iradah)  dan kekuasaan manusia, akan tetapi kerana iradah dan kekuasaan dari Allah subhanahu wa’tala. Dengan kata lain, manusia hanya melaksanakan apa yang telah di tetapkan dan telah dikehendaki Allah berdasarkan iradah dan kemampuanya (kasb al-Ikhtiyari). Manusia akan mendapatkan siksa dari Allah jika kehendaknya buruk, dan ia akan mendapatkan pahala jika kehendaknya mengandung usnur ketaatan.”[43]
Pada dasarny al-asy’ari menurut al-Juwayni mengatakan bahwa dalam kenyataanya al-asy’ari tidaklah sungguh dalam teologinya, tetapi sebagai sebagai Juru damai terhadap dan mengambil jalan tengah terhadap konsep ekstrim saat itu.[44]
4.      Konsep Qadha dan Qadar menurut pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Nizhomul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) bahwa:
 “……..Apabila kita meneliti masalah qadla dan qadar, akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptaan Allah atau oleh dirinya sendiri.  Juga tidak menyangkut Ilmu Allah, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dan Ilmu Allah itu meliputi segala perbuatan hamba. Tidak terkait pula dengan Iradah Allah –sementara Iradah Allah dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba- sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Tidak juga berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz -yang tidak boleh
tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di
dalamnya……….”.[45]

Berdasarkan uraian ini bahwa Syaikh Taqiyuddin dalam menguraikan  masalah Qodha dan Qadar itu terlebih dahulu memisahkan antara perbuatan manusia, ilmu Allah, dan Lauhul Mahfudz. Perbuatan manusia tidak bisa dibenturkan dengan ilmu Allah, apakah perbuatan manusia itu “dipaksa” atau “dibebaskan” sebab pada dasarnya Ilmu Allah meliputi segala perbuatan manusia, sehingga di sini manusia tak memiliki otoritas lebih jauh mengkaji atau mempertanyakan mengenai Ilmu Allah. Begitu juga mengenai Iradah Allah dan Lauhul Mahfudz,  sebab mau atau tidak, terpaksa atau rela kehidupan manusia harus tunduk sesuai apa yang telah tertulis  dalam lauhul Mahfudz.
Dalam masalah ini as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhanni berpendapat bahwa yang berbeda dengan Ahli Sunnah (Asy’ariyah), Mu’tazilah, dan Jabariyah. Beliau melihat bahwa masalah ini harus di pisahkan dengan Ilmu Allah, sebab Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Iradah Allah danLauhul Mahfudz, akan tetapi Qadha wal Qadar adalah berhubungan dengan perbuatan hamba. Dalam hal ini seluruh perbuatan manusia berada dalam dua dimensi, yakni “dimensi yang dikuasai” dan “dimensi yang tak bisa dikuasai atau yang mengusai manusia”. Area yang menguasai manusia inilah yang dimanakan Qadha, terbagi atas dua yakni Nizhamul Wujud ( Sunnatullah), kemudian yang bukan Sunnatullah, tetapi manusia tak bisa kendalikan, misalnya terkena peluru yang nyasar. Sedangkan yang dimaksdu Qadar, berlaku pada benda saja, contohnya Api diciptakan Allah berkhasiat membakar, sedang kayu berkhasiat terbakar. Apabial api tak bisa menghanguskan kayu itu berarti khasiatnya telah di cabut oleh Allah. [36][46]
a). Konsep Qadha
Penggunaan kata Qadha dalam al-Qur’an hanya sekedar  makna bahasa saja dan tidak memiliki makna Syara.  Lafadz Qadha merupakan kata Musytarak  memiliki beberapa makna Dan tidak ada kaitanya dengan Qadha dan Qadar yang diperselisihkan oleh Mutakallimin.[47] Sehingga perlu di pisah antara pemakaian Istilah Qadha dan Qadar dalam al-Qur’an dan Istilah Qodha dan Qodar dalam istilah ilmu kalam.
Konsep Qodha dalam al-qur’an bermakna ilmu Allah dimana manusia tak ada hak untuk ikut campur atas ketetapan Allah seperti Kematian, Rejeki, dan lain sebagainya. Dalam prsefektif qodha dan Qodhar Mutakallimin itu berkisar perbuatan manusia, pada pertanyaan apakah manusia itu dipaksa atau bebas. Atau konsep kasb al-Ikhtiyar Asy’ariyah.

          Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani  mengenai Qadha dan Qadar bahwa
1. tak ada hubungan dengan perbuatan manusia, apakah perbuatan itu dari Allah yang dipaksakan kepada manusia, atau dilakukan oleh manusai itu sendiri

            Perbuatan manusia pada dasarnya adalah fakta yang terindra, sehingga dapat di amati dan bisa disimpulkan bahwa manusia itu hidup dalam dua ruang lingkup yan berbeda dan memiliki realitas yang amat berbeda pula. Fakta-fakta perbuatan manusia terbagi dua  yakni pertama Wilayah yang dikuasainya dan Wilayah yang menguasai manusia.[48]
    Area yang menguasai manusia terbagi atas dua yakni, area yang menguasai manusia yang dipengaruhi oleh Sunnatullah dan yang kedua area yang menguasai manusia akan tanpa dipengaruhi oleh Sunnatullah (hukum Alam). Pertama area yang menguasai dan memaksa manusia tunduk serta dipaksa, hal ini dipengaruhi Nizhomul wujud (sunnatullah) memaksa manusia untuk tunduk sepenuhnya seperti Di sini, manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya.  Ia tidak dapat terbang di udara, tidak bisa berjalan di atas air hanya dengan tubuhnya. Ia tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya, Akan tetapi semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba (makhluk)-Nya.
Hanya Allah-lah yang menciptakan nizhamul wujud yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam diperintah untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya tanpa kuasa untuk melanggarnya.
Kedua wilayah yang menguasai manusia dan tidak dipengaruhi Nizhomul wujud . tetapi tak dikuasai dan diluar kehendak manusia.adalah kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok
lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bisa dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang dan sebagainya.
Semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya dan tidak terikat dengan nizhamul wujud, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Karena itu, dapat digolongkan ke dalam area kedua, yakni daerah yang menguasai manusia. Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai
manusia inilah yang dinamakan Qadha (keputusan Allah). Sebab
Allah-lah yang memutuskannya. [49]


b). Konsep Qadar

Lafadz al-Qadar secara etimologis merupakan lafadz Musytarak (mempunyai banyak makna) antara lain Qadara al-amra ay dabbarahu (mengatur urusan), Qadara al-Syay’a bi al-Syay’I ay Qasahu (menganalogikan sesuatu), Qadara ‘alayh rizqahu ay-dayyaqahu (menyempitkan rezekinya).[50]
Mengenai konsep Qadar, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan:

“Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun naluri serta kebutuhan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan).[51]

Qodar bermakna ketetapan Allah atas Khasiat dan sifat  serta ukuran benda, meliputi naluri yang menjadi sifat manusia. Qadar, uraiannya adalah sebagai berikut. Bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan.  Allah SWT telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentupada benda-benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani.  
Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan diri (gharizatul baqa) dan melestarikan keturunan (gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan seksual.  Dalam kebutuhan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah).

Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah.[52] Gharizah atau naluri yang telah Allah tetapkan lewat Qadar pada diri manusia  seperti naluri beragama (Tadayyun), naluri berketurnan (Nawu) dan naluri mempertahankan diri (Baqa) sekaligus kebutuhan fisik dan khasiat yang terdapat pada  benda-benda diserahkann kepada manusia untuk menggunakan dan memanfaatkanya. Apakah manusia akan memenuhi dorongan naluri dan menggunakan khasiat atau potensi benda itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah atau tidak.
Disinilah berlaku balasan pahala dan siksa atas pilihan yang telah diambil oleh manusia. Qadar (ketetapan) yang telah Allah Subahanahu Wata’ala telah tetapkan pada benda-benda bisa dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an
Mengenai kebutuhan fisik
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.[53]
Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”[TQS an Naba: 9]
Imam Ibnu Katsir berkata:

“Yaitu termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya Allah menjadikan sifat tidur bagi kalian diwaktu malam dan siang, dengan tidur, ketenangan dan rasa lapang dapat tercapai dan rasa lelah serta kepenatan dapat hilang”.
Mengenai khasiat segala sesuatu Allah berfirman.
“(Tuhan) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” [54]
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”[55]

Besi telah di Taqdirkan atau telah ditetapkann dengan khasiat yang melekat, yakni keras, apabila ditajamkan bisa melukai dan memotong, itulah qadar. Begitpun api telah ditetapkan lewat qadar bisa membakar dan menghanguskan. Tinggal manusia yang memilih apakah akan memakai besi untuk membunuh dan menggunakan api untuk kehajatan atau pun untuk kebaikan. Maka inilah posisi Qadar yang sesuai dengan posisinya Maka manusia harus mengimani qadar ini.

Menurut  Hafidz Abdurrahman[56] pembahasan mengenai lafadz al-Qadar telah mengalami penyimpangan termasuk dalam aspek bahasan maupun dalam realitas Syara. lafadz-lafadz tersebut dimaknai secara berbeda oleh para Mutakallimin.

Kesalahan mutakallimin dalam membahas Qadar, mereka terjebak pada kesalahan memaknai Qadar sebagai Manusia di paksa atau diberi kebebasan, atau keputusan yang menyeluruh dalam perkara cabang dan rincian, atau rahasia Allah. Kesalahan ini terjadi akibat Mutakallimin tidak membedakan antara pembahasan mengenai perbuatan manusia di satu sisi yang di akui atau tidak faktanya terkadang “mujbar  dan mukhayyar” dan pembahasan ilmu Allah.
            Nash-nash al-Qur’an yang berbicara tentang Qadar adalah fakta Syara dengan pemakaian lafadz yang memiliki makna berbeda-beda:
Firman Allah dalam AL-Qur’an yang artinya
Dan sesungguhnya ketetapan Allah itu adalah ketetapan yang pasti”[57]
“maka, air-air itu bertemu berdasarkan kejadian yang telah di tetapkan (di lauhul Mahfudz).”[58]
“dan dia telah menetapkan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya)-nya”.[59]
“Dia sesungguhnya telah memikirkan dan menetapkan (apa yang telah di tetapan olehnya)”.[60]
$¯RÎ) ¨@ä. >äóÓx« çm»oYø)n=yz 9ys)Î/ ÇÍÒÈ
 “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.[61]

Tidak ada satu pun ayat di atas yang merinci bahwa Qadar allah ber arti rahasia Allah. Atau keputusan dalam urusan cabang dan rincian. Atau manusia di paksa melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, bahwa al-Qur’an menggunakan lafadz tersebut sesuai konotasi bahasa, yang berbeda dengan konotasi istilah yang dipakai Mutakallimin. Makna yang sama juga bisa di temukan dalam al-Sunnah. Akan tetapi secara umum maksud ayat al-Qur’an dan hadis mengenai lafadz Qadar sebagaimana dalam ungkapan dalam hadist.
  " وَبِاالْقَدْرِ خَيْرٍوَشَرِّهِ مِنَ اللُّهِ"
Artinya” dan (beriman) kepada Qadar,bahwa baik dan buruknya sama-sama dari Allah”[62]
E. Kesimpulan
Konsep Qadha dan Qodar dalam Islam yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah itu berbeda dengan konsep Qodha dan Qodar dalam ilmu kalam yang terpengaruh filsafat. Sehingga harus di pisah mana Qadha dan Qodar Islam dan mana konsep murni ilmu kalam. dalam Al-qur’an tidak di temukan kata atau kalimat yang menggabungkan Qodha dan Qodar dalam satu kata. Yang ada adalah kata Qodha mengandung penegertian lain. Dan kata Qodar mengandung makna lain.

1.      Intinya beliau berusaha memposisikan pembahasan Qadha dan Qadar sesuai dengan kapasitas fitrah dan manusia dan sesuai dengan pemaknaan yang dikehendaki oleh nash-nasah syara
2.      Memisahkan antara Qadha dan Qadar dalam al-Qur’an dan Hadist serta makna Qadha dan Qadar yang ada dalam pembahasan Kalam.
3.      Berusaha keluar dari ruang lingkup pertarungan antara mu’tazilah Qadariyah, Jabbariyah dan Asy’ariyah. Dengan mengemukakan sudut pandang yang berbeda.
Untuk mempermudah memahami konsep Qadha dan Qadar dalam pandangan asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bisa di lihat dalam bagan berikut.






Perbuatan Manusia
Tabel Qadha dan Qadar[63]
Mukhayyarun
Manusia bebas berbuat berdasarkan pilihanya sendiri. Ia tidak dipaksa oleh Allah SWT.


Musayyarun
Manusia tidak bebas berbuat. Ia dipaksa oleh Allah SWT
Sesuai aturan wujud (sunnatullah)
Tidak Sesuai aturan wujud (sunnatullah)
Tidak dihisab
Qadha Allah missal; rejeki di tangan Allah, ajal di tangan Allah SWT dan sebagainya
sesuai syari’at Allah
Pahala Surga
Tidak sesuai syari’at Allah
 Siksa Neraka
Dihisab
(bi hisaab)
 


Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an
2. Al-Qur’an dan Terjemahan
3. Hadist
4. An-Nabhani, Taqiyuddin (1424 H /2003 M).  As-Syakhshiyah Islamiyyah. Cet. VI: Daar al-Ummah. Terj: Zakiyah Ahmad, Lc. (2007). Cet.1.Jakarta: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) Press.
5. Nizhom al-Islam
6. Muhsin Rodhi, Muhammad. Metode dan Tsaqofah Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Khilafah Judul Asli, Hizb at-Tahrir, Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah Islamiyyah, merupakan Tesis Master di Fakultas Ushluddin, Jurusan Pemikiran Islam, yang telah di uji dii hadapan tim penguji Universitas Islam Baghdad, Iraq 8  Shafar 1428 H/25 Februari 2007 M dengan Predikat  Mumtaz (Summa Cumlaude)
7. Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, Pustaka Firdaus: 2003, cet 1.h.6
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (untuk UIN,STAIN, PATAIS),Pustaka Setia: Bandung,2010, cet V, hl. 49 (Lihat Juga: Abdu al-Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdadi, Farq bayn al-Firaq, Al-Azhar , Mesir 1037, hl.75 )

8.Humam ‘abdurrahman, A.Said ‘Aqil. Penjelasan menyeluruh Qadha’ Qadar; Telaah Terhadap Pemahaman Mu’tazilah. Jabbariyah, dan Ahlu Sunnah. Penerbit; Al-azhar Press. 2014cet III.
9. Al-Milal Wa An-Nihal, Abu Fatah Mohammad bin al-Karim al-Syahrastaniy
10. Abdurrahman, Hafidz (2015). Pengaruh Filsafat Dan Ilmu Kalam terhadap Kemunduran dunia Islam. Cet.1. Bogor: Al-Azhar Freshzone Publishing.
11. Najih Maimoen, Muhammad  (1434 H/ 2013 M). Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII Dan Ma’had Al-Zaytun. Cet.1. Jawa Tengah: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang.
12. Ilmu Kalam
13.Sejarah Kebudayaan Islam
14. Rusli, Muh. Khasanah Teologi Islam; Klasik dan Modern, Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo 2015.
15. Modanggu, Thariq. Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, pen; Qalam Nusantara, 2010. Cet 1. Jakarta.












[1] Muhammd Muhsin Rodhi Metode dan Tsaqofah. Hl 57 Lihat, Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah fi al-Fikri al-Islami al-Mu’asirah, hl.14; selebaran dengan judul I’lan li Jami’I as-Syabab, Hizbut Tahrir, 11 Shafar 1423 H/ 13 April 2003 M.
[2] Ibid (hl58) lihat , Hizbut Tahrir al-Islami, hl 35. Mengutip dari kitab al-Qabail al-Arabiyah wa salahiha fi biladiha Filasthin, karya Musthofa Murad ad-Dibagh, hl.134.135,149.
[3] Ibid hl 59
[4] Ibid 58. As-Syaikh Yusuf  bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin hasan bin Muhammad an-Nabhani as-Syafi’I atau yang di juluki Abu Mahasin, Ulama lulusan Universitas al-Azhar Mesir (1283-1289). Beliau seorang Penyair, Sastrawan, Sufi sekaligus Qadhi  wafat di tahun 1350 H.dengan meninggalkan karya intelektual di bidang Tashauf, sastra, Hadis, sejarah dan Tafsir. Di Daar al-Kutub al-Mishriyah ditemukan sekitar 67 buah kitab karyanya. Sebagian besar di tulis sewaktu di Beirut, sekitar 48 telah diterbitkan di Beirut dan Kairo. (Lihat, AL-a’lam, Khoiruddin Zarkali, Dar al-Ilmi li al-Malayin, Beirut, cet.xv,2002, juz VIII, hl 218; dan Mu’jam al-Mu’allafin, Umar Ridho Kahalah, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi dan Maktabah Mutsna, Beirut, tanpa Tahun, Juz XXXI, HL 275. Muh. Muhsin Rodhi (pen) menkompromikan nasab Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa kedua orang tua beliau masih termasuk sepupu.
[5] Ibid hl 60
[6] Ibid hl 60
[7] Ibid hl 60 (lihat Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah fi al-Fikri al-Islami al-Mu’ashirah, hl.141-142; dan Hizbut Tahrir al-Islami,  hl.48,126,127
[8] Muhsin Rodhi, Metode dan tsaqofah, hl. 63 ( lihat: foot not: pernyataan as-Syaikh Abdul Aziz a;-Khayyath bahwa Syaikh Taqiyuddin bekerja sebagai tenaga pengaajar di Departemen Pendidikan Palestina, bukan di kementrian Pendidikan Palestina. Lihat, HIzb at-Tahrir al-Islami, hl.11
[9] Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah, Hizbut tahrir, Daar al-Ummah, Beirut cet ke 7  1423 H/ 2002 M. hl.199
[10] An-Nizham al-Islam, dikeluarkan hizbut tahrir cet VI (Edisi mu’tamadah)1422. H/2001 m..hl 46
[11] Moh. Muhsin Rodhi, hl 65
[12] Ibid hl 62
[13] Ibud hl. 63 .hizb at tshrir al-islami, hl 111,112
[14] Muhsin rodhi 78
[15] Lihat as-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1h.29 dst, 134,142,227,362,376,389; as-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz II hl.103. dst.; as-Syakhshiyah al-Islamiyah juz III, Taqiyuddin an-Nabhani, dikeluarkan hizbut Tahrir, dar al-Ummah, Beirut, cet.III (Edisi Mu’tamadah), 1426 H/2005 M. hl.299,307,310; Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hl.116-123; Fikr al-Islami, Muhammad Ismail, Maktabah al-Wai’e, 1377 H/1958 M, hl.28; ahkam as-Shalah, ali al-Raghib, Dar an-Nahdhah al-Islamiyah, Beirut, Cet.1, 1412 H/1991 M, hl.79 dst.; Soal Jawab tgl 8 Shafar 1391 H/ 4 April 1971 M.
[16] Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz III, hl.66-67; Nidzam Hukm fi al-Islam, hl 74,88; Mafahim Hizbut Tahrir, hl.7,8,36,46,46,71; Fikr al-Islami, hl.37;   as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Fikran wa Kifahan, hl.19-20; Taqiyuddin an-Nabhani,  Nidzhom al-Iqtishadi  fi al-Islam, dikelurakan HIzbut Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, Cet VI (Edisi Mu’tamadah), 1425 H/2004 M, hl.54; Muqaddimah ad-Dustur, hl.46-47; dan Soal Jawab , tgl 8 Jumadil Ula 1387 H/14 Agustus 1967 M.
[17] ( lihat footnot: Ihsan Abdul Mun’im Samarah,. Al-Mahfum al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Fikr al-islami al-mu’ashir, Mathba’ah ar-Risalah, al-Quds Cet 1, 1407 H/1987M hl 150. Muh.Muhisn Rodhi hl 82
[18] Muh Muhsin Rodhi. HL.84 (lihat foot not: Mahfum al-‘adalah al-Ijtima’iyah fi al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, hl.149; atsar al-jama’at a-Islamiyah al-Midani Khilala al-Qarn al-‘isyrin, hl.233; Hizb at-Tahirir al-Islami, hl.111-113; wawancara dengan Ir. Hasan al-Hasan, perwakilan Hizbut Tahrir Uni Emirat Arab, Koran Az-Zaman,edisi 1953 tanggal 28 oktober 2004; Abdul Jabbar al-Kawazi, ketua kantor penerangan Hizbut Tahrir Irak, Baghdad,22 Rabi’ul awal 1326/ 1 Mei 2006 M; dan pengumuman Meninggalknya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dikeluarkan Hizbut Tahrir tanggal 2 Muharam 1398 H/12 Desember 1977 M.
[19] Jihad secara etimologis (Lughawi ) adalah kerja keras, sedangkan dalam terminology syara adalah berarti mengerahkan seluruh tenaga,harta dan nyawa baik secara langusung maupun tidak, untuk berperang di jalan Allah.  Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhsiyah al-Islamiyah, Juz 1, Dar al-Ummah, 1994, Beirut, hl.47
[20] Syakjsiyah hal-47
[21] Sayksi juz 1. Dar umah. 1994. Libanon, hl 49-50
[22] A.Said ‘aqil Humam ‘Abdurrahman.Penjelasan Menyeluruh tentang Qadla’Qadar, telaah terhadap Pemahaman Mu’tazilah, Jabariyah, dan Ahlu Sunnah. Al-azhar Press.Bogor: cet III, Sya’ban 1435 H-Juni 2014. Hl14
[23] Said ‘Aqil Huma, Qadha Qadar hl.13 ( lihat foot not; Samih ‘Athir al-Zain, Thariq al-Liman, 1983, dar al-kitab al-Libnaniy, Beirut, hl.283-284
[24] Pengaruh Filsafat hl.25
[25] Pengaruh Filsafat hl26 (lihat Muslim, Sahih, K.al-Imam, no.9.)
[26] P.FILSAFAT hl 26 (lihat al-Tirmidzi, Sunan,k.al-Qadar, no.2081.)
[27] Istilah Qadariyah sebenarnya adalah istilah umum, yang berarti kumpulan orang-orang yang menjadikan masalah Qadar sebagai isu Aqidah. Dengan demikian, berarti ia meliputi Mu’tazilah dan Jabbariyah. Akan tetapi, istilah tersebut lebih di hususkan untuk menyebut Mu’tazilah. Lihat: al-Baghdadi, al-Farq, hl.44 (lihat catatan kaki: Hafidz Abdurrahman, Pengaruh Filsafat dan Ilmu kalam.hl.33
[28],Asy-Syahrasatani, AL-Milal wa al-Nihal, terj; Asywadi Syukur PT.Bina Ilmu, Surabaya. Tanpa Tahun, hl.37,38, 39
[29] Muh.Rusli. Khasanah Teologi Islam
[30] Hafidz Abdurrhaman, pengaruh Filsafat, hl.31 (lihat: Ibn Hajar, Tahdhib, juz X, hl.225-226)
[31] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (untuk UIN,STAIN, PATAIS),Pustaka Setia: Bandung,2010, cet V, hl. 79 (lihat Luwis Ma’luf Al-Munjid fi Al-Lughah, Daar al-Kitab Al-Farabi, cet X, Beirut, hl. 207)

[32] Muh RUSLI, OP cit.hl40
[33] Qs al-Kahfi 29
[34] Muh Rusli, Khsasanh teoli islam, hl.38.
[35] Thariq Modanggu, Perjumpaan Theologi dan Pendidikan,pen; Qalam Nusantara, cet 1 2010.Jakrta hl 55
[36] Asy-Syahrahstani, al-milal wa al-nihal, hl,71
[37] Said ‘Aqil Humam, Qadgha Qadar hl. 26 (lihat al-Munjid fial-Lughah wa A’lam.hl 205
[38] Qs;As-Shaffat ayat 96
[39] As-syahrasani terjemahan. Hl 77
[40] Said aqil humam. Qadah qadar. Hl 31
[41] Qadha dan Qadar, hl 36 Samih ‘Athif al-Zain, Thariq al-liman, 1983. Dar al-kitab al-libanany, Beirut, hal 289-290
[42] Muhammad Najih Maimoen, Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Mta, Ldii Dan Ma’had Al-Zaytun, Perc. Al-Anwar Sarang Rembang Cetakan Pertama : 16 Jumadal Ula 1434 H./ 28 Maret 2013 M. hl.12 (lihat: Imam al Iji dalam kitab al Mawaqif fi Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat.)
[43] Bandingkan dengan abu al-Fattah Mohammad ibn al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa nihal; isyfiraini, al-Farq bayn al-Firaq; al-Malathi as-Syafi’iy, Maqalat Islamiyin; Taqiyuddin an-Nabhani asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, bab, Qadha wa Qadar
[44] Muh. Rusli, Khasanah theology islam, hl55 (lihat; Sayyed Hossein Nasar dan William C.Chttik, Word Spiritualy; Manifestations. Terj. Tim Perenial dengan judul, Islam Inetelektual; Teologi, Filsafat dan Makrifat. Jakarta; perennial Press, 2001, hl. 27
[45] Nizhomu Islam , hl 31
[46] Nizhomul Islam, hl.31-35, lihat Shaksiyah Islam, 76, 93, h.103, 108.
[47] Asy-Syakhsiyah Islamiyyah Juz 1 hl 115
[48] Nnizhomul  Islam. Hl.32
[49] Nizhom, hl 33
[50] Hafidz Abd, hl 301.(lihat ibn al-Manzur, lisan al-arab, juz XI, hl.57. dan 58)
[51] An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, hl.35
[52] Nizhom hl36
[53] [TQS. Ar-Rum: 23]
[54] [TQS. Al-A’la: 2-3]
[55] [TQS. Al Furqan: 2]
[56] Hafidz Abdurrahman. Pengaruh Filsafat dan ilm kalam, hl 300
[57] QS AL-AHZAB (33): 38
[58] QS: Al-qomar [54]: 12
[59] Qs al-fuhshilat (41):10
[60] Qs; al-Muddatsir; 74: 18

[61] Al-qomar 54:49
[62] Muslim, Shahih (k.al-Iman), hadist, no.8 hl.21-22
[63] Said aqil humam






[1] Muhammad Najih Maimoen, Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Mta, Ldii Dan Ma’had Al-Zaytun, Perc. Al-Anwar Sarang Rembang Cetakan Pertama : 16 Jumadal Ula 1434 H./ 28 Maret 2013 M. hl.12 (lihat: Imam al Iji dalam kitab al Mawaqif fi Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam kitab at Ta’rifat.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar